The Famz
“Ning, kanggoang gen sube ibu ajak bapak ane belog, de pesan nyen cening milu buke keto. Yen sube dadi anak dueg sinah kal nepukih galah ane luung” (Nak, cukup ibu dan bapak saja yang bodoh, jangan sekali-sekali kamu seperti itu juga. Orang yang pintar akan selalu mendapatkan jalan) Begitulah kira-kira pesan ortuku yang seringkali diucapkan ibu sambil ngelus-ngelus rambutku. “arghhh, apaan sih ibu, itu aja diomongin terus” beginilah jawaban nakalku saking seringnya mendengar ucapan beliau. Namun, kalau boleh jujur, setiap kali mendengar kata-kata itu ada semacam lecutan semangat, ada semacam suntikan adrenalin dalam darahku yang memacuku untuk terus berprestasi.
Aku bukanlah anak dengan tipe terbuka dengan beliau berdua. Setiap kali aku ada masalah lebih baik kupendam dan kuselesaikan sendiri. Hal yang tidak patut ditiru memang, namun mungkin dari sana aku mendapat pelajaran tentang kemandirian, keteguhan dan kekuatan. Beliau berdua hanya sering terima beres saja. Seringkali ketika mau ikut lomba semasih jaman sekolah misalnya, aku lebih memilih untuk tidak mengungkapkannya ke mereka, aku lebih memilih hanya berbicara ke mereka ketika lomba sudah selesai dan menjadi pemenang. Bahkan ketika pertama kali masuk TV pun (maaf kalo sedikit norak, heheh), ibu taunya dari tetangga yang kebetulan nonton, bukan dari aku sendiri. Bahkan di saat anak-anak yang tamat SMA selalu diantar ortunya ketika mendaftar di perguruan tinggi, aku lebih memilih naik motor bersama teman untuk mendaftar STAN menyeberangi pulau bali ke lombok tanpa diantar mereka berdua.
Adikku beda lagi. Semasih kecil kami sering berseberangan, berantem mulu, mulai dari rebutan siaran TV, rebutan minta diambilin makanan, rebutan tempat tidur, pokoknya udah kayak kucing ama tikus deh. Namun, semenjak aku ngekost dan berpisah dengan keluarga, aku baru mulai sadar bahwa dia adalah tanggung jawabku. Aku merasa bersalah ketika dia tidak dapet SMP dan SMA unggulan karena nilainya yang kurang. Seringkali aku menyombongkan diri dihadapannya dengan bercerita segudang prestasi yang aku capai, bukan bermaksud apa-apa, hanya memberikan motivasi untuk dia untuk berusaha dengan keras demi cita-cita. Ternyata cara itu berhasil, meskipun dia bersekolah di SMA yang bukan unggulan namun dia selalu berhasil masuk 3 besar ranking umum. Bahkan ketika dia sudah masuk di universitas dia berhasil mendapat beasiswa sehingga bebas dari uang kuliah sampai tamat.
Di keluargaku tidak ada tradisi mengucapkan bangga kepada anggota keluarga yang lain. Tidak pernah sekalipun dalam hidupku Ibu bilang “Ibu bangga ama kamu nak”, apalagi bapak, dengan sifat beliau yang pendiam hanya sedikit kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dulu aku menganggap itu sebuah kekurangan, aku sering iri dengan teman-temanku yang “hanya memiliki prestasi segitu saja” namun respon keluarganya sangat besar. Namun sekarang aku mulai memahami maksud ortuku bersikap demikian, beliau hanya ingin mengajarkanku untuk tidak sombong dan selalu rendah hati karena kesombongan selalu berawal dari kebanggaan yang berlebihan.
Mereka berdua adalah pejuang. Setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya ketika aku masih kelas 2 SMA, bapak bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan kami. Mulai dari sopir yang harus mengantarkan barang dagangan keliling Bali sehingga bisa 3 hari tidak pulang ke rumah, kemudian sempat juga menjadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjual ayam dll. Masa-masa itu adalah masa-masa yang sangat sulit dalam kehidupan keluarga kami terlebih ketika aku harus ke jakarta untuk melanjutkan pendidikan. DIsinilah Tuhan menjawab doa-doa mereka, selama kuliah d3 di STAN aku menjadi pengajar dan dari sana aku sudah mulai bisa hidup sendiri tanpa tergantung orang tua. Ketika adikku selesai SMA sempat bapak bilang ke aku kalau beliau tidak sanggup mengkuliahkan dia, saat itu aku baru saja tamat STAN dan masih berstatus CPNS, namun dengan tegas aku menolak perkataan bapak, aku katakan dengan mantap bahwa mulai detik itu juga adikku adalah tanggung jawabku, aku akan menamatkannya sampai sarjana nanti. Dan syukurlah, dia memang dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu yang cukup cepat dan tidak mengeluarkan biaya terlalu banyak karena beasiswa.
Tidak ada maksud untuk menyombongkan diriku dan keluargaku melalui tulisan ini. Aku hanya ingin berbagi cerita kepada siapa saja. Aku yakin masih banyak keluarga lainnya yang berjuang jauh lebih keras dibandingkan aku dan keluargaku.
Tulisan ini aku adalah bentuk penghargaanku kepada kedua orang tuaku. Orang tua yang selalu merawatku dengan kasih sayang, ibu yang tidak pernah lupa membuatkan masakan kesukaanku (ati goreng), bapak yang pernah harus meminjam uang dari seorang penjual minyak tanah di pasar burung satria untuk mengantarku berobat ke dokter. Beliau berdua yang selalu berjuang untuk menyekolahkan aku dan adikku. Kini, aku dan adikku sudah menyelesaikan pendidikan dan menjadi sarjana, sarjana yang dilahirkan dari orang tua yang hanya tamatan SD dan STM. Sudah saatnya mereka menikmati jerih payah mereka membesarkan kami berdua dan saatnya aku mulai bertugas menjadi kepala keluarga yang mengurusi mereka sebagai bentuk baktiku sebagai anak.
Waktu berlalu begitu cepat, 8 April 2015 akhirnya aku mantap melangkah membina rumah tangga bersama seseorang yang aku sayangi. Namanya Putu Evia Febriandari, tapi panggilannya macem-macem, kadang Putu (di Jakarta harganya 2000 sebiji, hehehe), kadang Epi, kadang Alibaba (nah yang ini panggilan sayang Om Tantenya), tp ga pernah dipanggil Febri apalagi Dari, hahahahaha.
Kalau ditanya mengapa saya menikahinya jawabannya cuman satu karena dia orang baik. Klise? bagi yang tidak mengenalnya silakan aja bilang saya klise, tapi saya berani taruhan kalau yang ditanya temannya. Kalau ditanya perbedaan ya pasti banyak, saya orang rumahan dia seneng jalan, saya suka olahan ayam dia doyannya olahan ikan (tapi sama-sama doyan makan, bandingin aje foto gw dibawah ama diatas, hehehehe), tapi saya dan dia punya prinsip yang sama bahwa kita berdua harus terus berbuat baik tanpa memperdagangkannya (you know what i mean lah :D).
Saya menulis bagian ini tepat pada saat ulang tahunnya yang ke-25, tepat di saat dia dipercaya untuk melewati cobaan yang paling berat di episode hidupnya. Dan saya yakin dia tidak hanya sekedar akan lulus namun akan menjadi contoh bagi saya dan anak-anak kita kelak, Awighnam Astu.
Hai perkenalkan nama saya Agra, yang ditunggu-tunggu kedua orang tua saya. Sekarang saya sudah bisa lari-lari dan bilang “bakpa” “makma” (baca: bapak, mamak).
noerazhka said
Setiap orang tua adalah pahlawan tak terkira bagi anak2nya ..
Membaca tulisanmu ini, Way, bikin aku inget almarhum Bapak Ibuku & perjuangan mereka untuk aku & adikku ..
Sampaikan salam hormat & salut yang tinggi untuk mereka berdua ya, Way .. 🙂
I Wayan Agus Eka said
Setuju zo.. nanti pasti disampaikan, tp nanti sepertinya kamu ada kesempatan menyampaikan langsung zo, you know lah what i mean, hahahaah…..suwun..
a! said
salam kenal. salut utk perjuangan orang tuanya maupun bli wayan..
I Wayan Agus Eka said
Masih banyak yang berjuang lebih keras dari kami mas, terima kasih sudah mampir
dwi said
salut buat wi eka yang bisa jadi motivator buad ade
I Wayan Agus Eka said
suksma