DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

UU HPP, Konsolidasi Fiskal yang Berkeadilan

Posted by I Wayan Agus Eka on November 12, 2021

Presiden telah menandatangani RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) pada tanggal 29 Oktober 2021. Beleid ini adalah omnibus law ketiga di bidang perpajakan dalam dua tahun terakhir setelah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi payung hukum bagi Pemerintah dalam memperlebar defisit anggaran di atas 3% dari PDB sebagai bagian dari upaya luar biasa dalam menyelamatkan perekonomian karena pandemi Covid-19. Pelebaran defisit anggaran tahun 2020 yang mencapai 6,15% tampaknya membuahkan hasil dilihat dari kontraksi ekonomi Indonesia pada tahun 2020 yang hanya sekitar 2,07%. Namun demikian, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga mengamanatkan defisit anggaran akan kembali menjadi 3% dari PDB pada tahun anggaran 2023. Amanat inilah yang mengharuskan Pemerintah melakukan konsolidasi fiskal yang diterjemahkan dalam penerbitan UU HPP sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara untuk menurunkan defisit anggaran.

Upaya konsolidasi fiskal dalam UU HPP dapat dilihat dari pengaturan tarif pajak. Untuk PPh Orang Pribadi, UU HPP mengatur penambahan lapisan tarif tertinggi sebesar 35% untuk rentang penghasilan di atas Rp5Milyar. Hal ini merupakan upaya Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dari orang pribadi superkaya sekaligus menegaskan peran pajak sebagai sarana redistribusi penghasilan. Untuk tarif PPh Badan, UU HPP membatalkan rencana penurunan tarif PPh Badan yang dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 semula direncanakan sebesar 20% pada tahun 2022. Dengan demikian, tarif PPh Badan akan tetap sebesar 22% pada tahun 2022. Meskipun tarif PPh Badan tetap, namun tarif ini faktanya masih lebih rendah dibandingkan dengan tarif rata-rata negara G-20 (24,1%) dan negara OECD (22,81%). Kebijakan terkait tarif yang terakhir adalah kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada April 2022 dan akan menjadi 12% pada Januari 2025. Keseluruhan kebijakan tarif pajak ini tentunya akan memberi dampak positif pada penerimaan untuk meningkatkan tax ratio yang selama beberapa tahun terakhir mengalami tren penurunan.

Selain melalui tarif pajak, konsolidasi fiskal juga dilakukan melalui perluasan basis pajak (tax base). Perluasan basis pajak dapat dilihat pada perubahan rezim pemajakan atas natura. Apabila dalam UU sebelumnya pemajakan atas natura dilakukan di level perusahaan (dengan tidak boleh membiayakan secara fiskal), UU HPP mengubahnya menjadi pemajakan di level penerima (dengan boleh membiayakan di sisi pemberi dan merupakan penghasilan di sisi penerima). Latar belakang utamanya adalah adanya kecenderungan perusahaan untuk memberikan imbalan sehubungan dengan pekerjaan melalui pemberian natura karena tarif pajak efektifnya adalah tarif PPh Badan yang lebih kecil dibandingkan dengan tarif PPh OP. Dengan mengubah menjadi rezim pemajakan di sisi penerima, maka basis pajak atas natura bergeser menjadi penghasilan orang pribadi yang menerimanya yang dapat dikenakan tarif lebih tinggi sesuai tarif PPh OP.

Di sisi PPN, perluasan basis pajak dapat dilihat dari dihapuskannya beberapa jenis barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan dari pengenaan PPN. Meskipun sebagian besar barang dan jasa yang semula dikecualikan tersebut kemudian diberikan fasilitas dibebaskan, ada beberapa barang yang secara substansi kemudian menjadi dikenakan PPN seperti barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya dan emas yang digunakan bukan untuk kepentingan cadangan devisa. Perluasan basis pajak ini dimaksudkan agar pemberian fasilitas PPN lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

Tetap Berkeadilan

Penerjemahan konsolidasi fiskal dalam beberapa perubahan di atas memang ditujukan dalam rangka optimalisasi penerimaan negara. Namun demikian, penempatan asas keadilan pada urutan pertama di Pasal 1 ayat (1) UU HPP menyiratkan bahwa tujuan mulia untuk meningkatkan penerimaan negara tetap wajib mempertimbangkan aspek keadilan dalam penerapannya. Atas dasar hal inilah, perluasan basis pajak pada uraian sebelumnya tetap disertai dengan pengaturan-pengaturan yang memastikan pemenuhan atas aspek keadilan ini.

Kebijakan konsolidasi fiskal dalam tarif PPh dibarengi dengan beberapa perubahan yang memastikan perlindungan bagi Wajib Pajak yang berada pada lapisan bawah. Kelompok pengenaan tarif pada lapisan pertama diperlebar, yang semula sampai rentang Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp50Juta menjadi Rp60juta. Ketentuan ini memastikan masyarakat yang memiliki penghasilan kena pajak sampai Rp5juta sebulan tetap dikenakan tarif lapisan pertama sebesar 5%. Selanjutnya, pelaku usaha UMKM juga tetap dipastikan mendapatkan fasilitas tarif. Bagi UMKM orang pribadi, yang selama ini dikenakan tarif 0,5% atas seluruh peredaran bruto setahun menjadi hanya dikenakan pajak final ketika peredaran brutonya melewati Rp500juta. Sementara untuk pelaku UMKM Badan tetap dapat menikmati fasilitas penurunan tarif 50% sesuai pasal 31E UU PPh.

Kebijakan perluasan basis pajak di PPN juga diimbangi dengan perluasan pemberian fasilitas PPN dibebaskan.  Sebagian besar jenis barang dan jasa yang dihapus daftar pengecualian pengenaan PPN dimasukkan dalam daftar barang/jasa tertentu yang bersifat strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Barang/jasa yang dibebaskan ini termasuk di dalamnya barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya. Ketentuan ini memastikan masyarakat berpenghasilan rendah tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi barang/jasa tersebut. Konsolidasi fiskal melalui instrumen pajak dalam UU HPP ini memiliki tujuan yang mulia untuk mencapai target penurunan defisit anggaran sebagaimana diamanatkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Meski demikian, literatur menunjukkan aspek keadilan harus menjadi salah satu pertimbangan utama yang menentukan kesuksesan (sustainability) kebijakan konsolidasi fiskal (Kaplanoglou, Rapanos, & Bardakas, 2015; IMF, 2012). UU HPP hadir dengan semangat untuk mencapai keseimbangan ini, di satu sisi mampu meningkatkan penerimaan negara sementara di sisi lain tetap menjaga rasa keadilan masyarakat.

I Wayan Agus Eka

Tulisan ini dimuat di harian pagi Timor Express edisi 12 November 2021

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

 
%d bloggers like this: