Koperasi dalam Keterbukaan Informasi Keuangan
Posted by I Wayan Agus Eka on November 24, 2020

Lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi babak sejarah baru berakhirnya era kerahasiaan perbankan di Indonesia khususnya untuk kepentingan perpajakan. Setidaknya terdapat 4 Undang-Undang di bidang perbankan, pasar modal, perdagangan berjangka komoditi, dan perbankan syariah yang selama ini menjadi tembok penghalang otoritas pajak untuk dapat memperoleh informasi keuangan. Keterbatasan akses keuangan inilah yang selama ini juga ikut berperan dalam rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Perppu Nomor 1 Tahun 2017 sejatinya dikeluarkan karena adanya kebutuhan mendesak untuk memenuhi persyaratan regulasi domestik dalam rangka pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Namun demikian, Pasal 4 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ternyata juga mengatur mengenai kewenangan otoritas pajak untuk meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan (IBK) yang akan digunakan sebagai basis data perpajakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Terdapat 3 jenis entitas dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 yang diwajibkan untuk memenuhi permintaan IBK dari otoritas pajak yaitu lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan entitas lain. Meskipun demikian, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 hanya mengatur definisi mengenai “entitas lain”, sementara definisi mengenai lembaga jasa keuangan dan lembaga jasa keuangan lainnya mengacu pada UU mengenai Otoritas Jasa Keuangan (UU Nomor 21 Tahun 2011).
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah koperasi memiliki kewajiban untuk memenuhi permintaan IBK dari otoritas pajak? Apabila melihat secara tersurat, koperasi tampaknya tidak termasuk dalam definisi lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya maupun dalam definisi entitas lain. Namun demikian, Pasal 1 angka 10 UU Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan bahwa salah satu yang termasuk dalam lembaga jasa keuangan lainnya adalah “lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Untuk melihat apakah OJK memiliki kewenangan untuk mengawasi koperasi dapat ditelusuri lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (UU LKM). Pasal 1 angka 1 UU LKM menjelaskan definisi LKM adalah “lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan”. Koperasi sendiri merupakan bagian dari LKM sebagaimana ditegaskan pada Pasal 5 ayat (1) UU LKM yang mengatur bahwa salah satu bentuk badan hukum sebagai syarat pendirian LKM adalah berbentuk koperasi. Terkait dengan pengawasan, Pasal 28 ayat (1) UU LKM mengatur bahwa “Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UU LKM tersebut dapat disimpulkan bahwa OJK memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada koperasi. Dengan adanya kewenangan pengawasan terhadap koperasi tersebut maka koperasi termasuk dalam definisi lembaga jasa keuangan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU Nomor 21 Tahun 2011. Dengan demikian koperasi juga memiliki kewajiban untuk memenuhi permintaan IBK dari otoritas pajak.
Pentingnya Peranan Koperasi
Terdapat 4 jenis koperasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan pinjam. Dari empat jenis koperasi ini, koperasi simpan pinjam melakukan hal yang serupa dengan perbankan yaitu berfungsi sebagai financial intermediary dengan menghimpun dana dari anggotanya dalam bentuk simpanan untuk kemudian disalurkan kepada anggota lainnya dalam bentuk pinjaman. Dengan adanya kesamaan kegiatan ini maka koperasi simpan pinjam, sebagai salah satu lembaga jasa keuangan lain, juga memiliki kewajiban yang sama dengan entitas sektor perbankan untuk memberikan IBK dalam rangka pembangunan basis data perpajakan.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa per tanggal 31 Desember 2019 terdapat 123.048 koperasi yang memiliki lebih dari 22 juta anggota dengan volume usaha mencapai Rp154 triliun. Kontribusi koperasi terhadap PDB juga berada pada kisaran 5% dari PDB nasional pada tahun 2018. Data dari survey BPS menunjukkan bahwa rata-rata tabungan/deposito yang dikelola setiap koperasi simpan pinjam adalah sebesar Rp3 miliar. Data survey BPS juga menunjukkan bahwa untuk regional Bali dan Nusra, rata-rata jumlah anggota koperasi simpan pinjam adalah 2.715 orang yang merupakan rata-rata tertinggi secara nasional.
Data-data tersebut di atas menunjukkan bahwa koperasi khususnya koperasi simpan pinjam memiliki informasi keuangan yang berpotensi dapat digunakan sebagai basis perpajakan. Meskipun secara nominal jumlah rupiah potensinya mungkin lebih kecil dibandingkan dengan data di sektor perbankan namun informasi keuangan dari koperasi memiliki cakupan yang lebih luas karena menjangkau sektor-sektor informal yang transaksinya tidak melalui jalur perbankan.
Koperasi sebagai suatu usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan merupakan pengejawantahan dari Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Pasal 4 UU Nomor 17 Tahun 2012 kemudian menegaskan bahwa koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.
Di sisi lain pajak bukan semata-mata pengumpulan uang pajak ke kas negara. Pajak juga mengandung unsur keadilan dan pemerataan karena pengenaannya akan bergantung dari penghasilan yang diterima. Mereka yang memiliki penghasilan yang lebih banyak tentunya akan menanggung beban pajak yang lebih besar. Disinilah basis data perpajakan memiliki peran yang sangat penting untuk memastikan bahwa pendistribusian beban pajak sudah dilakukan secara proporsional (bahkan progresif) serta memenuhi rasa keadilan sesuai dengan kemampuan ekonomis masing-masing. Dengan demikian, informasi data keuangan yang disediakan oleh koperasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan yang selaras dengan tujuan koperasi itu sendiri. Dengan turut serta berkontribusi dalam penyempurnaan basis data perpajakan melalui pemberian IBK, koperasi berada dalam jalur yang sama untuk mewujudkan tujuan pendirian koperasi itu sendiri yaitu kesejahteraan anggota dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Hanya dengan basis data perpajakan yang kuat keadilan ekonomi dapat tercapai dan kesejahteraan seluruh masyarakat dapat diraih.
I Wayan Agus Eka
Tulisan ini dimuat di Harian Timor Express Edisi 23 November 2020
Leave a Reply