Warga Bali dan Subjek Pengampunan Pajak
Posted by I Wayan Agus Eka on June 3, 2017
Tulisan ini sebenarnya sudah ditulis pada minggu terakhir Bulan Desember 2016 dan awalnya direncanakan dikirim ke salah satu media. Namun karena suatu dan lain hal tidak jadi ditayangkan dan akhirnya saya putuskan untuk dipublish di blog pribadi saya ini. Selamat membaca
Program Amnesti Pajak telah memasuki bulan Januari 2017 yang juga merupakan periode terakhir yang akan berakhir pada 31 Maret 2017. Namun demikian pertanyaan mendasar masih sering muncul, perlukah saya untuk mengikuti program ini. Mengingat bahwa Amnesti Pajak adalah hak maka jawabannya akan dikembalikan ke pribadi masing-masing. Mereka yang meyakini telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dipersilakan untuk tidak mengikuti program ini (meskipun hak untuk mendapatkan pengampunan tetap melekat), dan mereka yang masih ragu apakah telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar sangat disarankan untuk mengikuti program ini. Jawaban ini tentunya masih sangat umum karena setiap orang harus menilai dirinya sendiri apakah telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dan sayangnya tidak setiap orang bisa melakukan penilaian dimaksud. Dengan demikian jawaban pertanyaan di atas, dalam tataran tertentu, memang membutuhkan pendalaman tersendiri.
Apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat Bali, penulis mencatat setidaknya ada 3 golongan masyarakat Bali yang memerlukan analisa tersendiri apakah masuk sebagai subjek Pengampunan Pajak. Pertama adalah orang Bali yang bekerja sebagai tanaga kerja di kapal pesiar di luar negeri, kedua adalah orang bali yang namanya “dipinjam” oleh bukan orang Bali bahkan WNA sebagai pemilik tanah atau properti, dan ketiga adalah WNA yang tinggal di Bali dan memiliki pekerjaan atau bisnis di Bali. Artikel ini akan menguraikan secara singkat bagaimana aspek Amnesti Pajak bagi mereka ini.
Subjek Pengampunan Pajak
Sebelum menguraikan aspek Amnesti Pajak pada 3 golongan masyarakat tersebut maka perlu dipahami siapakah yang menjadi subjek Pengampunan Pajak. Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak menjelaskan bahwa setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Lebih lanjut penjelasan pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak menjelaskan bahwa hanya Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) yang berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Apabila dikaitkan dengan ketentuan pada penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh maka hanya Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki hak untuk mendapatkan Pengampunan Pajak karena hanya Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Untuk menentukan apakah seseorang adalah subjek Pengampunan Pajak, status kewarganegaraan bisa jadi tidak terlalu relevan. Terminologi Wajib Pajak dalam negeri tidak selalu identik dengan status sebagai warga negara Indonesia, keduanya dapat beririsan dan berdiri sendiri satu sama lain. Karena hak untuk mendapatkan Pengampunan Pajak hanya dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri maka perlu dipahami siapa saja yang termasuk dalam golongan ini.
Wajib Pajak dalam negeri prinsipnya adalah Subjek Pajak dalam negeri yang menerima penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPh. Lebih lanjut, Subjek Pajak dalam negeri untuk orang pribadi adalah mereka yang:
- bertempat tinggal di Indonesia, atau
- berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
- dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Selain yang memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai Wajib Pajak luar negeri yang bukan merupakan subjek Pengampunan Pajak.
Pekerja Kapal Pesiar
Pekerja kapal pesiar umumnya bekerja sekitar 8 bulan di luar negeri dan hanya berada di Indonesia sekitar 4 bulan dalam satu tahun. Apabila melihat kriteria pada paragraf sebelumnya maka sepertinya pekerja kapal pesiar ini bukan merupakan Subjek Pajak dalam negeri (karena berada di Indonesia kurang dari 183 hari) yang secara otomatis bukan merupakan subjek Pengampunan Pajak. Hal ini sepertinya selaras dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-11/PJ/2016 yang menyatakan bahwa WNI yang tidak bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan tidak mempunyai penghasilan di Indonesia merupakan Subjek Pajak Luar Negeri dan dapat tidak menggunakan haknya dalam program Pengampunan Pajak.
Namun demikian, pekerja kapal pesiar dapat tetap menjadi Subjek Pajak dalam negeri karena yang bersangkutan memenuhi salah satu kriteria di atas yaitu “bertempat tinggal di Indonesia”. Bertempat tinggal, salah satunya, diartikan memiliki tempat tinggal di Indonesia yang digunakan untuk berdiam (permanent dwelling place). Jadi meskipun pekerja tersebut berada di Indonesia kurang dari 183 hari namun karena memiliki tempat tinggal di Indonesia yang bersangkutan tetap merupakan Subjek Pajak dalam negeri yang menjadi subjek Pengampunan Pajak.
Warga Bali sebagai Nominee
Jamak dijumpai warga Bali yang digunakan namanya oleh warga non-Bali bahkan WNA sebagai nominee atas tanah/bangunan yang berlokasi di Bali. Warga Bali tersebut tentunya diberikan sejumlah imbalan atas penggunaan namanya oleh pemilik properti sebenarnya. Dalam aspek Amnesti Pajak maka yang seharusnya melaporkan properti tersebut adalah pemilik sebenarnya. Dalam hal pemilik sebenarnya belum memiliki NPWP, misalnya WNA, maka yang bersangkutan harus mendaftarkan terlebih dahulu untuk mendapatkan NPWP. Pemilik sebenarnya cukup membuat dokumen surat pernyataan nominee yang ditandatangani oleh warga Bali yang diatasnamakan sebagai salah satu tambahan syarat permohonan Amnesti Pajak.
Warga Bali yang diatasnamakan perlu menyadari bahwa Amnesti Pajak memiliki konsekuensi apabila tanah/bangunan tersebut tidak dilaporkan karena secara hukum mereka adalah pemilik sah properti tersebut meskipun secara de facto dimiliki oleh orang lain. Apabila Ditjen Pajak mendapatkan informasi properti tersebut sampai dengan 30 Juni 2019 dan diketahui bahwa pemilik properti/nominee tidak mengikuti Amnesti Pajak dan tidak melaporkannya dalam SPT Tahunan maka properti tersebut akan dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan sanksi perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku. Tentunya yang menerima konsekuensi hukum ini adalah warga Bali yang namanya digunakan sebagai pemilik properti. Dengan demikian peran aktif nominee dalam mendorong pemilik sebenarnya untuk mengikuti Amnesti Pajak sangat diperlukan karena secara hukum nominee-lah yang akan menanggung konsekuensi apabila aset tersebut tidak dilaporkan.
WNA
Sebagaimana telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, status kewarganegaraan tidak selalu identik dengan subjek Pengampunan Pajak. Seorang WNA dapat saja menjadi subjek Pengampunan Pajak apabila statusnya telah berubah menjadi Wajib Pajak dalam negeri. Dalam hal seorang WNA memenuhi salah satu dari tiga kriteria yang telah disebutkan sebelumnya maka dia akan berubah status menjadi Subjek Pajak dalam negeri dan apabila menerima penghasilan maka dia akan berubah menjadi Wajib Pajak dalam negeri yang otomatis menjadi subjek Pengampunan Pajak. Sebagai contoh, WNA yang datang ke Indonesia dan telah menunjukkan niat untuk tinggal lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan (dapat dilihat misalnya dari dokumen visa atau KITAS) maka yang bersangkutan telah memenuhi kriteria sebagai Subjek Pajak dalam negeri sekaligus menjadi subjek Pengampunan Pajak.
Amnesti Pajak pada prinsipnya adalah hak, namun dibalik hak tersebut kita semua harus menyadari bahwa apapun pilihan yang diambil, apakah mengikuti program ini ataupun tidak, akan menimbulkan konsekuensi dan risiko masing-masing. Periode III ini hendaknya dapat dimanfaatkan khususnya oleh golongan masyarakat tersebut di atas yang mungkin masih ragu memanfaatkan program ini. Partisipasi dalam Amnesti Pajak juga wujud gotong royong kita sebagai insan bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
I Wayan Agus Eka
Leave a Reply