Mereklamasi Bali, Menguruk Budaya
Posted by I Wayan Agus Eka on July 17, 2013
Pertama kali saya mendengar rencana reklamasi di Benoa kira-kira sebulan lalu. Sekali waktu saya sempatkan diri mengikuti perkembangannya dan terakhir saya membaca sebuah artikel di situs the jakarta post http://www.thejakartapost.com/bali-daily/2013-07-10/pastika-says-benoa-bay-plan-bring-prosperity.html.
Mari sejenak kita uraikan apa yang disajikan dalam berita itu dan dengan sedikit pengetahuan tentang googling mari kita bandingkan apakah ada keselarasan dan benang merah dari apa yang disajikan dalam berita itu.
1. Artikel tersebut mengungkapkan bahwa:
“Regarding his own moratorium on tourist facility developments in southern Bali, Pastika said the condition had changed now. “We are facing a shortage of hotel rooms. This can be seen from the rapid growth of accommodation construction as investors identify business opportunities,” explained Pastika”
Loh, kondisi mana yang berubah pak? siapa bilang ada shortage of hotel rooms?? mari kita baca artikel berikut http://www.phribali.or.id/news/tingkat-hunian-hotel-di-bali-menurun-perlu-promosi-bersama.htm .Data menunjukkan bahwa pada tahun 2012 (tahun lalu lho) tingkat hunian hotel berbintang hanya 50% sementara untuk hotel non berbintang 30% dan length of stay hanya 2,9 hari saja, bandingkan dengan dulu yang bisa 10-14 hari. Hal ini disebabkan karena jumlah hotel yang terlalu banyak.
Kalau masih ragu silakan saja googling sendiri dengan menggunakan keyword “oversupply hotel in bali” niscaya bakalan banyak artikel dan data yang bisa kita baca.
2. Di artikel itu juga diungkapkan:
“You can imagine thousands of people will be working on the project if it is approved. The project will certainly bring prosperity, employment opportunities and improve people’s welfare. This project will also enhance Bali’s status internationally,” explained Pastika on Tuesday, ignoring protests from the local tourist industry, academics and environmentalists.”
Ya bener sih pak bakalan ada lapangan kerja baru, bakalan ada kenaikan kesejahteraan, tapi saya yakin-seyakin yakinnya kalau krama Bali bakal bekerja yang judulnya ada boy-boy nya, ya kalo ga office boy ya room boy. Jangan hanya dilihat manisnya aja donk pak, liat paitnya. Mungkin si Bapak amnesia ya, ya udah kalo gitu tak ingetin. Pak, dulu waktu bikin jalan ke pulau serangan itu berakibat abrasi di Pantai Sanur dan Pantai Lebih. Ya kalau masih ga percaya ini ada video yang kebetulan saya dapet di you tube.
Karena saya bukan pakar lingkungan yang bisa menjelaskan secara teori lingkungan dan saya bukan ahli politik yang bisa menjabarkan aspek geopolitik maka saya akan bahas dari teori public finance saja. Dalam teori public finance setiap kebijakan publik pasti (sekali lagi pasti) akan menimbulkan dampak negatif yang disebut eksternalitas. Jadi bohong kalau dikatakan dalam kasus reklamasi benoa ini tidak ada dampak negatif, apapun cara yang ditempuh untuk meminimalkan dampak negatif ini pasti tidak akan mampu menghilangkannya. Masih mending kita mampu mengidentifikasi eksternalitas yang akan terjadi, akan menjadi lebih berbahaya apabila terdapat eksternalitas yang tidak dapat kita antisipasi sebelumnya. Kalau dampak negatif berupa abrasi, terumbu karang yang rusak dan lain-lain mungkin si investor masih bisa menjanjikan solusi, namun bagaimana halnya dampak ke budaya, dampak ke sosiocultural, apakah hal ini bisa diukur dan diidentifikasi lalu diminimalkan?? kata si poltak raja minyak “PENING AKU BANG”.
Perspektif reklamasi yang selama ini kita kenal hanyalah dalam arti harfiah bahwa reklamasi adalah menguruk laut dengan tanah sehingga daratan menjadi lebih luas, namun sisi lain sebuah reklamasi juga berarti menguruk tatanan dan budaya sebuah masyarakat. Reklamasi ibarat katalis yang mempercepat reaksi pengeroposan sendi-sendi budaya Bali. Mengapa saya katakan seperti itu? karena reklamasi ini merupakan wujud dari pembangunan fisik saja. Saya ibaratkan sebuah toko, mereklamasi benoa ibarat membangun sebuah toko yang megah lengkap dengan kemewahannya namun melupakan barang-barang apa saja yang mau dijual. Bali, kalau saya ibaratkan barang dagangan, yang dijual hanya dua, alam dan budaya. Kalau alam sudah rusak (seperti yang sudah sering kita liat, ga usah dicontohkan lagi deh) dan kalau budaya sudah hilang (yang ini gejalanya sudah semakin parah) maka seandainya Pak Gubernur mau mereklamasi bali sampai nantinya terhubung dengan Australia pun ga akan ada gunanya karena barang dagangannya udah hilang semua Pak, mau apa lagi yang dijual nanti??
Ah, sudahlah, sejauh ini saya hanya bisa protes lewat tulisan karena hanya ini yang saya mampu untuk sekarang ini. Udah tengah malem, besok mau kerja lagi.
Semoga pikiran suci datang dari segala arah.
I Wayan Agus Eka
danupolos said
semoga dari masalah ini bs ditelusuri lg ketimpangan lain pembangunan pariwisata bali. ditunggu tulisan lainnya bli!
I Wayan Agus Eka said
Ok siap, suksma