Menggugat Komersialisasi Prambanan
Posted by I Wayan Agus Eka on February 9, 2013
Lelah badan dan letihnya mata ini serasa belum pergi setelah menempuh perjalanan darat yang cukup jauh dari Bandung menuju Jogjakarta. Pagi itu tanggal 30 Desember 2012, saya dengan selamat menjejakkan kaki di Jogjakarta bersama calon mantan pacar saya :D.
Setelah menikmati sarapan gudeg wijilan, kami bergegas menuju tempat wajib yang harus kami kunjungi di Jogjakarta, Prambanan. Bukan hanya bermaksud untuk menikmati kembali indahnya karya monumental nenek moyang bangsa, namun juga sekedar untuk bersembahyang terutama setelah dibukanya kembali Candi Siwa. Kami berjalan menuju halte Trans Jogja, sarana transportasi di Jogjakarta yang menurut saya cukup bersahabat baik dari segi harga, keterjangkauan rutenya dan pelayanannya.
Kami tiba di Candi Prambanan pada siang hari dengan suasana yang sudah sangat ramai dipenuhi para pengunjung dan wisatawan. Ini merupakan kedua kalinya saya mengunjungi tempat ini setelah terakhir sekitar 10 tahun yang lalu ketika masih SMA. Suasananya sudah sangat berubah dan semakin baik. Gerbang pintu masuk sudah modern dan kebersihannya pun sudah terjaga.
Namun demikian ada satu hal yang sangat penting yang sudah mengusik saya bahkan semenjak saya menjejakkan kaki di sini. Candi Prambanan adalah salah satu tempat suci umat Hindu tidak hanya di Jawa namun juga di Nusantara. Bukan hanya satu kali saja tempat ini dipusatkan menjadi tempat perayaan Tawur Agung Kesanga sebagai salah satu rangkaian penting Hari Raya Nyepi. Selayaknya tempat suci yang memiliki juga fungsi sebagai tempat wisata maka pengelola SEHARUSNYA dan WAJIB menjaga kesucian tempat ini. Saya melihat tidak ada satupun papan peringatan atau petunjuk yang melarang pengunjung (wanita) yang sedang datang bulan untuk masuk ke area inti Candi Prambanan. Tidak bermaksud berlebihan, namun setidaknya bagi pengunjung yang sedang berhalangan agar tidak diperbolehkan untuk naik ke atas candi terlebih memasuki ruangan paling suci yang menyimpan patung para Dewa.
Karena kami memang berniat sembahyang, maka kami naik ke atas Candi Wisnu. Pengunjung yang sangat banyak menyulitkan kami memasuki ruang utama yang menyimpan patung Dewa Wisnu. Setelah berdesakan cukup lama kami akhirnya sampai di ruang utama. Sangat miris ketika kami melihat sebagian besar pengunjung antri untuk berfoto bersama dengan patung Dewa Wisnu. Terlebih lagi sebagian dari mereka berpose yang menurut saya tidak pantas dan memanjat ke atas. Terlepas apakah patung tersebut adalah asli atau replika, namun bagi saya hal ini sangat mengusik bathin saya. Kami berusaha tidak menghiraukan mereka, kami mengambil tempat di ujung ruangan yang gelap dan kemudian berusaha mengheningkan diri ditengah keramaian memanjatkan doa dengan hanya menundukkan kepala.
Saya menyadari bahwa Candi Prambanan tidak bisa hanya diekslusifkan untuk Umat Hindu saja. Candi Prambanan adalah aset bangsa yang siapapun dapat menikmatinya tanpa memandang suka, ras dan agama. Namun seharusnya pengelola dan pemerintah tidak menghilangkan identitas Candi ini sebagai tempat suci yang masih dipergunakan sampai sekarang. Tengoklah ke Bali, di setiap pura di Bali (apalagi pura yang menjadi destinasi wisata) terpasang pengumuman dengan jelas di gerbang depan bahwa bagi wanita yang sedang datang bulan dilarang untuk memasuki area pura. Saya rasa tidak terlalu sulit untuk memasang beberapa papan pengumuman serupa di komplek Candi Prambanan. Terlepas dari akan adanya kesulitan untuk membuktikan apakah seorang pengunjung sedang berhalangan maupun tidak, namun saya meyakini bahwa upaya ini sebagai langkah awal untuk mengembalikan fungsi Candi Prambanan sebagai tempat suci dan secara bersamaan di sisi lain tidak mengebiri fungsinya sebagai destinasi wisata. Upaya ini juga untuk sebagai sarana informasi kepada pengunjung bahwa apa yang akan mereka nikmati bukan hanya sekadar struktur bangunan maha megah namun juga sebuah tempat ibadah yang wajib dijaga kesuciannya bersama-sama.
Saya meyakini tindakan para pengunjung tersebut adalah bentuk ketidaktahuan mereka dan saya tidak menyalahkan hal tersebut. Tidak ada satupun informasi di komplek Candi Prambanan yang menerangkan bagaimana seharusnya berprilaku untuk menjaga kesucian komplek ini. Saya meyakini masyarakat kita cukup bertoleransi seandainya mereka dididik terlebih dahulu mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Bahwa tempat suci kini menjadi destinasi wisata adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, namun SEPATUTNYA DAN SEHARUSNYA komersialisasi tersebut tidak menginjak aspek-aspek kesucian dari tempat tersebut yang WAJIB dijaga oleh semua pihak tidak hanya umat yang menggunakannya namun juga masyarakat yang menikmati keindahannya. Pengelola seharusnya tidak hanya mengedepankan bagaimana mendatangkan pengunjung sebanyak-banyaknya namun seharusnya menyadari bahwa apa yang mereka kelola adalah tempat yang harus dijaga kesuciannya. Saya sangat meyakini, apabila Candi Prambanan dan candi-candi lainnya tidak dijaga kesuciannya maka tempat itu tidak lebih dari gunungan batu hitam tanpa ada pancaran kesejukan, kedamaian, keluhuran, dan keagungan yang hanya dapat dinikmati apabila kesuciannya terjaga.
I Wayan Agus Eka
candrakomik said
Itu g akan terjadi kalo di bali…simpel…
gaijin said
ampura selanturnyane yening tiang wenten iwang.. sekarang saatnya para parisadha hindu dharma dan umat sedarma mulai meninjau – meninjau peninggalan- hindu diseluruh dunia agar tempat kesakralan dan peninggalan sejarahnya tidak terbengkalai…astungkara dumogi pemerintah setempat memperhatikan situs-situs sejarah peradaban hindu
bedog said
Turut Prihatin
semoga pihak pengelola sadar akan arti pentingnya candi ini sebagai tempat persembahyangan dan bukan hanya tempat wisata saja..
dumadak wenten sane ngingetin secara niskala…