DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Bercermin di Ujung Slamet Riyadi

Posted by I Wayan Agus Eka on June 29, 2012

Malam itu adalah malam terakhir saya bertugas di solo, kota yang mendapat julukan the spirit of java. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 sepulang dari makan malam menikmati enaknya kikil bakar di jalan gadjah mada. Mobil kami menelusuri jalan slamet riyadi dan sesaat lagi akan berbelok di penghujung jalan menuju tempat kami menginap. Seketika mata saya menuju sekumpulan orang yang berhimpun tepat di sebelah patung slamet riyadi, menelisik hati saya untuk mampir sebentar. Dari kejauhan terlihat kelir putih yang tidak terlalu besar, ya, itu adalah pertunjukkan wayang kulit.

Sejak kecil saya sangat suka menonton pertunjukkan wayang kulit. Di kampung halaman saya pertunjukkan wayang bisa berakhir sampai dini hari. Kesempatan ini tidak akan saya lewatkan dan sesaat setelah memarkir mobil, saya memisahkan diri dari rombongan dan melangkahkan kaki menuju pertunjukkan tersebut.

Saya menyusup di tengah keramaian dan akhirnya mendapatkan spot yang cukup baik untuk dapat menikmati pertunjukkan tersebut. Saya berdiri di sebelah seorang pemuda yang duduk di atas sepada motornya. Ternyata cerita yang disajikan bukanlah cerita klasik semacam ramayana atau mahabarata, tokoh-tokohnya pun bukanlah pandawa, rahwana dll, namun tokoh-tokoh modern yang saya tidak kenal sama sekali.

Di depan kelir sang dalang sedang memainkan dua orang tokohnya dan tentunya dengan bahasa jawa yang sebagian besar tidak saya mengerti artinya. Gelak tawa penonton pun membahana setiap sang dalang membuka dialognya. Saya yang sama sekali tidak mengerti juga tertawa kecil, bukan menertawai kelucuan yang dibuat sang dalang tapi tertawa karena yang lain tertawa juga.

Sejenak perhatian ini beralih dari kelir sang dalang menuju ke penonton. Ternyata penontonnya tidak hanya dari golongan orang tua namun banyak juga remaja tanggung yang menonton, mungkin karena lakon yang dipentaskan bukanlah lakon klasik namun lakon modern yang kita temui sehari-hari. Saya sangat senang mengamati ekspresi penonton ketika tertawa, raut muka mereka sangat orisinil, tertawa mereka tidak dibuat-buat hanya untuk sekedar menghormati sang dalang. Mereka seperti melupakan kesulitan-kesulitan hidup yang sedang dihadapi saat ini. Ekspresinya jauh dari kesan berpura-pura, polos, lugu selayaknya masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi arti kejujuran dan ketulusan. Bagi mereka semua ini murah harganya karena mereka lakukan setiap hari, tapi bagi saya dan mungkin sebagian besar masyarakat modern, semua ini mahal harganya. Ketulusan, kejujuran dan keikhasan sudah menjadi barang langka yang teramat mahal bagi kita semua, dan di pertunjukkan inilah saya bisa melihatnya lagi, gratis.

Sang dalang masih memainkan tangan dan jarinya menghidupkan tokoh-tokoh rekaan yang dia ciptakan hingga pada sepenggal adegan terdapat 4 orang yang salah satunya adalah seorang calon lurah yang berhasil mengantongi suara terbanyak dalam sebuah pemilihan dan 3 orang lainnya adalah petugas pemilihan yang terdiri dari seorang pemimpinnya dan dua orang bawahannya. Adegan ini menggunakan dialog bahasa indonesia sehingga saya dapat memahaminya.

“terima kasih atas bantuan bapak membantu memenangkan saya dalam pemilihan ini. Ini ada uang 30 juta untuk bapak dan rekan-rekan bapak” tungkas sang lurah terpilih. Si A (sebut saja seperti itu) sebagai pimpinan petugas pemilihan kemudian bertemu dengan si B dan si C, anak buahnya. “rekan-rekan, ini ada uang 3 juta dari pak lurah sebagai imbalan atas bantuan kita memenangkan beliau, saya ambil sejuta dan sisanya buat kalian berdua”. Seketika tertawalah para penonton ketika sang dalang menyampaikan dialog tersebut.

Dalam hati kecil saya sangat penasaran, mengapa untuk dialog tersebut hampir semua penonton tertawa terbahak-bahak, apakah memang mereka menertawakan cara dialog tersebut dibawakan yang memang sangat jenaka atau mereka sedang menertawakan isi atau pesan yang hendak disampaikan sang dalang. Bagaimana kemudian sang dalang dengan cerdas menyindir pembagian uang haram yang juga tidak luput dari korupsi (udah uangnya haram, dikorupsi pula). Semua ini seperti menohok saya dan kita semua, dan inilah pesan yang ingin disampaikan sang dalang kepada khalayak.

Entah disadari oleh penonton atau tidak, memang ada pesan tersembunyi yang hendak disampaikan oleh sang dalang. Inilah substansi dari wayang itu sendiri. Di kampung halaman saya wayang ditonton di balik layar, jadi sang penonton hanya akan melihat bayangan wayangnya saja. Dari sanalah kemudian muncul sebuah makna mendalam bahwa menonton wayang adalah menonton bayangan kita sendiri, melihat diri kita sendiri di depan sana dengan tingkah laku yang beraneka macam. Dan itulah intinya, bercermin sehingga mampu melihat dan menyimpulkan apakah yang kita lakukan selama ini sudah berada dalam jalur yang benar atau perlu koreksi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30, saya pun melangkah pamit meskipun pertunjukkan belum usai. Malam itu, dibawah sebuah patung pahlawan, sebuah pagelaran memberikan kesempatan bagi saya untuk bercermin kembali, melihat noda-noda yang mulai menghitamkan wajah ini seraya berusaha mengambil tisu bersih untuk mulai membersihkannya lagi. Terima kasih Solo atas sebuah kearifan yang engkau ajarkan, suatu saat aku pasti kembali lagi, meskipun hanya untuk bercermin.

Advertisement

3 Responses to “Bercermin di Ujung Slamet Riyadi”

  1. chimbah said

    harus nya sampai pukul 2.30, pasti lebih seru ntuh…..:D Solo tak pernah mati…..

  2. bedog said

    mai mulih mebalih wayang cenk blonk…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

 
%d bloggers like this: