Hati ini terhenyak ketika mendengar luapan amarah manusia menyeruak di salah satu sudut pulau yang selama ini dikenal damai dan tenang. Darah membasuh tanah dewata seolah ‘caru’ pembersih bhuwana. Mengapa?
Peristiwa ini menegasikan pandangan masyarakat dunia bahwa bali itu tumbuh dengan manusia yang ramah,baik,hening dan sebutan sejenis lainnya. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi saya sebagai warga asli bali menarik kesimpulan bahwa sebenarnya masyarakat bali adalah manusia yang keras dan sangat gampang tersulut konflik. Tipikal masyarakatnya umumnya pendendam namun sangat pintar menutupi penampakan di luarannya meskipun jauh di lubuk hatinya rasa kecewa, marah dan dendam itu masih terpelihara ibarat sekam yang sedang menunggu bensin untuk meledak.
Namun mengapa selama ini sangat jarang terdengar konflik di bali? industri pariwisatalah yang telah membuat konflik-konflik tadi menjadi sekam dan tertutupi abu. Teori dasarnya sederhana, ibarat orang yang jika kelaparan bahkan senyuman orang lain pun bisa menyulut kemarahan, namun jika perutnya sudah kenyang dia akan ngantuk kemudian tertidur pulas.
Tidak usah terlalu jauh untuk menarik sejarah, kita ambil peristiwa Gestok saja pada tahun 1965. Saat itu bali menjadi salah satu ladang pembantaian orang-orang yang dituduh pki. Bukan dibunuh oleh orang lain, namun pembantaian dilakukan oleh nyame (sesama) orang bali sendiri.
Setelah peristiwa itu bali justru tidak bergejolak, tenang, tidak ada pergolakan atau balas dendam, seolah-olah tidak ada peristiwa berdarah yang dilakukan saudara sendiri sebelumnya. Setelah peristiwa itu, pada awal tahun 70an, pariwisata bali mulai menggeliat, masyarakatnya mulai disibukkan dengan terlibat dalam “revolusi industri pariwisata”. Industri ini menghinoptis masyarakat bali untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dan mencurahkan waktunya mengejar dolar dan kenikmatan menyerupai surga di pulau yang kemudian terkenal sebagai surga terakhir.
Semuanya adalah masalah duniawi, ketika kemakmuran saat itu bukan lagi mustahil bagi masyarakat bali maka dia menjadi abu yang terus-menerus menutupi sekam kelam masa lalu yang sangat hitam. Terlebih lagi secara niskala (alam gaib) telah dilakukan pecaruan agung di seluruh pulau bali setelah tragedi itu. Pecaruan yang bermakna pembersihan atas semua kekotoran yang diakibatkan tragedi ini kemudian bermakna penghapusan terhadap memori-memori kekerasan di masa lampau.
Lalu hilangkah rasa dendam itu dari masyarakat bali? Tidak, sama sekali tidak, dia hanya bersembunyi di celah-celah hati yang sangat sempit. Beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi di bali beberapa tahun terakhir sedikit banyak memilki kaitan dengan dendam masa lalu tersebut.
Tragedi gestok yang diuraikan tadi hanyalah salah satu sumber konflik laten di bali. Kalau mau menarik lebih jauh lagi, konflik laten mungkin juga bersumber ketika jaman kerajaan-kerajaan di bali yang saling berebut kekuasaan wilayah dan ekonomi, hal ini sekarang mungkin menyisakan warisan ketika misalnya ada satu desa yang dari dulu tidak pernah akur dengan desa lainnya.
Apapun itu penyebabnya, saya sebagai putra asli bali sangat prihatin dengan peristiwa di bangli ini. Melupakan dendam masa lalu bukanlah berarti kita ‘alpaka’ terhadap leluhur, tapi justru mewarisi perdamaian bagi anak cucu kita kelak. Damailah baliku