DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Archive for July, 2011

Jangan Hapuskan Soal Ujian Itu

Posted by I Wayan Agus Eka on July 31, 2011

Tersebutlah dua keluarga yang memiliki anak masing-masing Angga dan Bayu. Keduanya tahun ini genap berusia 18 tahun dan akan melalui tahun pertamanya di perguruan tinggi.

Orang tua mereka sangat bangga dengan anak-anaknya, semua perlengkapan kuliah dibelikannya, bahkan sampai mainan PS3, gadget ipad, smarthphone, mobil dan lain sebagainya.

Perlakuan kedua orang tua mereka pada anaknya sebenarnya sama kecuali satu hal ketika anak-anaknya akan menghadapi ujian di kampusnya. “Selama kamu UTS dua minggu mendatang, handphone, PS, Ipad, televisi di kamarmu, mobil dan barang-barang lainnya bapak sita supaya kamu fokus. Bapak tidak mau kamu menghabiskan waktumu dengan semua barang-barang tadi dan mengganggu waktu kamu belajar.” begitulah bapak si angga berkata pada anaknya.

Namun lain halnya dengan ortu angga, bapak si bayu berujar “Nak, kamu sudah dewasa, sudah mengerti mana yang baik mana yang buruk, sudah bukan saatnya lagi Bapak menyita barang-barangmu seperti dulu ketika kamu hendak ujian. Semua Bapak serahkan padamu, kamulah yang memutuskan. 2 minggu ke depan kamu tidak hanya akan menghadapi ujian di kampusmu, tapi kamu juga akan diuji tingkat kesabaran dan kedewasaanmu. Kalau bapak menyita barang-barangmu seperti dahulu kamu tidak akan pernah mengalami ujian melawan hawa nafsumu karena bapak sudah menyingkirkan sang soal terlebih dahulu sebelum lonceng pertanda ujian dimulai berdentang dan alhasil bapak tidak akan pernah melihat anak kebanggaan bapak naik kelas dan lulus.”

Advertisement

Posted in Daily Notes | Leave a Comment »

Selamatkan bali: Dan Konflik Laten Itupun Pecah

Posted by I Wayan Agus Eka on July 30, 2011

Hati ini terhenyak ketika mendengar luapan amarah manusia menyeruak di salah satu sudut pulau yang selama ini dikenal damai dan tenang. Darah membasuh tanah dewata seolah ‘caru’ pembersih bhuwana. Mengapa?

Peristiwa ini menegasikan pandangan masyarakat dunia bahwa bali itu tumbuh dengan manusia yang ramah,baik,hening dan sebutan sejenis lainnya. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi saya sebagai warga asli bali menarik kesimpulan bahwa sebenarnya masyarakat bali adalah manusia yang keras dan sangat gampang tersulut konflik. Tipikal masyarakatnya umumnya pendendam namun sangat pintar menutupi penampakan di luarannya meskipun jauh di lubuk hatinya rasa kecewa, marah dan dendam itu masih terpelihara ibarat sekam yang sedang menunggu bensin untuk meledak.

Namun mengapa selama ini sangat jarang terdengar konflik di bali? industri pariwisatalah yang telah membuat konflik-konflik tadi menjadi sekam dan tertutupi abu. Teori dasarnya sederhana, ibarat orang yang jika kelaparan bahkan senyuman orang lain pun bisa menyulut kemarahan, namun jika perutnya sudah kenyang dia akan ngantuk kemudian tertidur pulas.

Tidak usah terlalu jauh untuk menarik sejarah, kita ambil peristiwa Gestok saja pada tahun 1965. Saat itu bali menjadi salah satu ladang pembantaian orang-orang yang dituduh pki. Bukan dibunuh oleh orang lain, namun pembantaian dilakukan oleh nyame (sesama) orang bali sendiri.

Setelah peristiwa itu bali justru tidak bergejolak, tenang, tidak ada pergolakan atau balas dendam, seolah-olah tidak ada peristiwa berdarah yang dilakukan saudara sendiri sebelumnya. Setelah peristiwa itu, pada awal tahun 70an, pariwisata bali mulai menggeliat, masyarakatnya mulai disibukkan dengan terlibat dalam “revolusi industri pariwisata”. Industri ini menghinoptis masyarakat bali untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dan mencurahkan waktunya mengejar dolar dan kenikmatan menyerupai surga di pulau yang kemudian terkenal sebagai surga terakhir.

Semuanya adalah masalah duniawi, ketika kemakmuran saat itu bukan lagi mustahil bagi masyarakat bali maka dia menjadi abu yang terus-menerus menutupi sekam kelam masa lalu yang sangat hitam. Terlebih lagi secara niskala (alam gaib) telah dilakukan pecaruan agung di seluruh pulau bali setelah tragedi itu. Pecaruan yang bermakna pembersihan atas semua kekotoran yang diakibatkan tragedi ini kemudian bermakna penghapusan terhadap memori-memori kekerasan di masa lampau.

Lalu hilangkah rasa dendam itu dari masyarakat bali? Tidak, sama sekali tidak, dia hanya bersembunyi di celah-celah hati yang sangat sempit. Beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi di bali beberapa tahun terakhir sedikit banyak memilki kaitan dengan dendam masa lalu tersebut.

Tragedi gestok yang diuraikan tadi hanyalah salah satu sumber konflik laten di bali. Kalau mau menarik lebih jauh lagi, konflik laten mungkin juga bersumber ketika jaman kerajaan-kerajaan di bali yang saling berebut kekuasaan wilayah dan ekonomi, hal ini sekarang mungkin menyisakan warisan ketika misalnya ada satu desa yang dari dulu tidak pernah akur dengan desa lainnya.

Apapun itu penyebabnya, saya sebagai putra asli bali sangat prihatin dengan peristiwa di bangli ini. Melupakan dendam masa lalu bukanlah berarti kita ‘alpaka’ terhadap leluhur, tapi justru mewarisi perdamaian bagi anak cucu kita kelak. Damailah baliku

Posted in Selamatkan Bali | Leave a Comment »