Gede Prama: Bali Shanti
Posted by I Wayan Agus Eka on September 26, 2010
Dalam buku terakhir ini nampaknya sang penulis mengambil Bali sebagai objek. Mengapa Bali??sederhana saja, Bali telah memberi contoh-contoh yang teramat agung bagi peradaban di dunia ini, contoh-contoh sikap yang mampu menyembuhkan dunia dari segala kekalutandan ketidakpedulian. Ketika peradaban ini selalu menyajikan gambaran kekerasan yang dibalas dengan bahasa serupa, sebut saja peristiwa 11 september yang diikuti dengan perang, maka Bali memberikan contoh yang luar biasa. Ketika pulau kecil ini dicabik-cabik dengan bom teroris, bahkan sampai dua kali, masyarakat bali memang marah, namun tidak pernah kita mendengar kejadian ini diikuti dengan penyerbuan tempat ibadah saudara yang lain, tidak pernah kita lihat diikuti dengan membenci umat lain, namun justru peristiwa ini diikuti dengan proses upacara penyucian dengan harapan semuanya kembali suci, kembali hening, kembali damai, hidup berdampingan dengan shanti.
Parama shanti adalah puncak segalanya. Ketika selesai sembahyang maka kata-kata inilah yang kita ucapkan dengan pengharapan dalam kalbu untuk menemukan the ultimate healing yaitu kedamaian. Segehan adalah bentuk penghormatan kita (bukan pemujaan) kepada sesama makhlukNya yang lebih rendah, ini mengajarkan bahwa semuanya adalah baik, dualitas ini baik, atas bawah, benar salah, bersih kotor, semuanya mengajarkan kebaikan dalam bentuknya masing, dan ketika kita mampu menghapus dualitas ini maka semuanya akan damai, damai dan damai.
Seorang peneliti pernah bertutur bahwa ada empat penyangga kehidupan beragama di bali, yaitu kecintaan akan alam, rasa bakti kepada leluhur, Hindu dan Buddha. Lihatlah kehidupan masyarakat bali jaman dahulu yang agraris, semua hal yang dilakukan saat itu adalah wujud cinta masyarakat kepada alam. Bahkan sampai sekarangpun masyarakat bali masih melakukan tradisi tumpek kandang dan tumpek uduh sebagai penghormatan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Begitu pula dengan leluhur, bagaimana kita melihat semangatnya seorang anak yang akan melakukan upacara Ngaben untuk orang tuanya. Dengan aspek Hindu pun demikian, ribuan pura yang ada di Bali adalah manifestasi dari aspek ini. Meskipun kecil, namun aspek Buddha dapat kita lihat sampai sekarang, sebutlah pura konco yang ada di tengah-tengah uttama mandala di pura ulun danu batur, itu adalah bukti aspek buddha juga mempengaruhi masyarakat Bali.
Bali selama ratusan tahun disangga oleh empat tiang ini, memang label tradisional akan melekat di dalamnya namun tak dipungkiri keempatnya membawa kedamaian dan keheningan dalam kehidupan masyarakat Bali sampai sekarang.
Bali dalam bahasa pali berarti persembahan. Orang Bali jaman dahulu tidak mengenal apa yang namanya kesenian, nama terakhir adalah sebutan yang diberikan orang luar kepada kegiatan menari, melukis, membuat patung dll. Orang bali jaman dahulu melakukan hal tersebut hanya untuk satu tujuan, yaitu persembahan kepada Pencipta. Persembahan itu sendiri mengambil beberapa bentuk. Yang paling banyak kita tahu adalah sembah raga, kerja bhakti, ngayah, adalah bagian dari sembah ini. Kemudian yang kedua adalah sembah rasa, dalam tingkatan ini bukan ragalah yang menjadi objek namun menyayangi semua makhluk, tidak menyakiti dan banyak memberi. Bukan untuk menginginkan pahala, namun dalam rasa semuanya akan terhubung dalam hukum alam yang kekal, menyayangi akan diikuti dengan disayangi, menyakiti akan ditemani oleh disakiti dll. Tingkatan selanjutnya adalah sembah rahasia, sembah puncak ini oleh para tetua bali sering disebut meneng, suwung, kolok, sunya dll. Bagaimana manusia mengisi kesehariannya, itulah sembah yang sesungguhnya, sebagaimana dikatakan Kahlil Gibran, “your life is your true temple” hidupmulah tempat ibadahmu yang sesungguhnya.
Bila boleh disarikan ajaran tetua Bali semuanya berawal dari Rwa Bhinneda. Semuanya sedang bertumbuh menuju cahaya yang sama. Orang baik bertumbuh, orang jahatpun bertumbuh. Mereka yang berbaju suci pun bertumbuh yang berbaju biasapun bertumbuh. Pertumbuhan yang dilandasi dengan bhaktilah yang akan membawa pencerahan yang berujung pada parama shanti, semuanya hening, sunyi, damai. Ketika kita mampu berada di atas dualitas maka saat itulah pintu sarva dharma terbuka, saat itulah semua perdebatan akan menjadi sia-sia belaka karena semuanya adalah dharma, semuanya baik, semuanya damai, dan itulah Parama Shanti.
I Wayan Agus Eka
Leave a Reply