Made Kembar Kerepun: Mengurai Benang Kusut Kasta
Posted by I Wayan Agus Eka on September 10, 2010
Buku ini adalah buku kedua yang saya baca yang mengulas tentang kasta setelah sebelumnya buku serupa karangan wiana. Dewasa ini, ditengah kemajuan jaman, permasalahan kasta memang sudah bukan lagi menjadi suatu perdebatan dan pertentangan sebagaimana yang dahulu pernah terjadi. Namun bukan berarti konflik-konflik dan diskriminasi sudah 100% menghilang dalam praktek sosial kehidupan masyarakat di Bali. Beberapa kasus yang berbau kasta dan pembedaan masih saja terjadi di masyarakat dan ini membuktikan bahwa kasta masih menjadi suatu bahan perdebatan meskipun masyarakat bali modern sudah tidak mempermasalahkannya lagi.
Pada masa jaya-jayanya, gelar kebangsawanan yang disandang oleh mereka yang masuk dalam golongan triwangsa adalah sekat-sekat yang membedakannya dengan golongan sudra/jaba yang mayoritas. Masyarakat pada masa itu dilarang untuk menggunakan beberapa kosakata dalam nama mereka antara lain Bagus, Oka, Rai, Ngurah dll. Sementara pada masa sekarang, konflik horizontal umumnya terjadi ketika ada beberapa orang yang melakukan perubahan gelar mereka dari semula sudra menjadi yang lebih tinggi. Kalau perubahan ini hanya semata dipandang sebagai perubahan nama saja mungkin tidak akan menjadi masalah, namun seringkali mereka tersebut meminta hak yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya misalnya duduk paling depan, berbahasa halus dll.
Kalaupun alasan perubahan nama itu adalah mengikuti leluhur maka alasan tersebut kurang tepat karena siapa yang dimaksud leluhur disini, bukankah sebelum kedatangan majapahit belum dikenal yang namanya Ida Bagus, Gusti, Dewa, dll, serta kalau menarik lebih jauh lagi siapa yang dimaksud leluhur bukankah semua manusia asal mulanya berasal dari satu, sang Hyang Manu. Bahkan ketika Majapahit sudah mulai kuasanya di bali gelar kebangsawanan yang kita kenal sekarang belum muncul, hal ini terbukti dari Adipati Majapahit pertama yang memerintah di Bali yang bernama Sri Kresna Kepakisan, apakah gelarnya raja ini adalah Sri? Atau Kresna?atau apa???
Kapan gelar-gelar tersebut muncul tidak diketahui secara pasti, namun diduga gelar itu muncul setelah runtuhnya kerajaan Gelgel. Keturunan Sri Kresna Kepakisan setelah runtuhnya gelgel memakai gelar Dewa Agung atau Cokorda. Sementara arya-arya majapahit ada yang memakai gelar I Gusti atau I Gusti Ngurah meskipun juga ada juga beberapa soroh arya (Arya Kloping, Arya Kanuruhan) yang tidak menggunakan gelar.
Belanda melalui konferensi Pemerintahan tahun 1910 di Singaraja telah menghidupkan sistem kasta di Bali. Dalam konferensi itu diputuskan bahwa sistem kasta merupakan pondasi dalam masyarakat Bali. Faktor politik dan kekuasaan berada di balik keputusan ini, karena Belanda ingin melanggengkan kekuasaannya di Bali dengan hanya “memegang” bekas-bekas raja yang masih memiliki pengaruh dan menjadikannya alat untuk meredam perjuangan rakyat Bali. Sementara, para raja-raja tersebut tetap mendapatkan kekuasaan dan pengaruhnya yang mungkin tidak akan didapat apabila Indonesia sudah merdeka.
Diberlakukannya kembali sistem kasta oleh Belanda telah membawa ketidakadilan oleh masyarakat Bali terutama dalam beberapa aspek antara lain kewajiban kerja rodi yang hanya untuk golongan jaba saja, larangan memakai sulinggih non-pedande, dan larangan menggunakan sarana pengabenan berupa bade metumpang dan petulangan berbentuk lembu. Adalah warga Pande Beng yang menentang dengan keras ketidakadilan ini dan melakukan upaya hukum. Melalui surat dari residen Bali Lombok dinyatakan bahwa warga Pande Beng menang dan berhak menggunakan Mpu dalam setiap upacaranya dan menggunakan sarana pengabenan tersebut.
Tidak dipungkiri lagi bahwa arsitek-arsitek kasta merupakan orang yang sangat hebat yang sangat menguasai ilmu agama dan mampu memanipulasinya menjadi paham yang mungkin sampai sekarang masih berakar di masyarakat Bali. Mengapa kasta bisa bertahan selama itu? Kurang lebih ada 6 alasan yaitu larangan amada-mada ratu, larangan asisia-sisia, sor singgih bahasa bali, paham ajawera, paham raja dewa, dan manipulasi titah dewata.
Amada-mada ratu adalah melakukan atau meniru-niru atau menyama-nyamai perbuatan yang pada masa itu hanya boleh dilakukan oleh golongan triwangsa saja. Hal ini meliputi larangan pemakaian kosakata tertentu dalam nama, kawin dengan perempuan yang kastanya lebih tinggi (asu mundung dan anglangkahi karang hulu), menggunakan bade bertingkat dan petulangan lembu, manak salah (melahirkan kembar laki-perempuan), membangun rumah menyerupai puri, dll. Sementara asisia-sisia serupa dengan amada-mada ratu namun khusus dalam bidang kesulinggihan misalnya adanya larangan melakukan lokapalasraya dan memberikan tirta pangentas bagi sulinggih non-pedande, karena menurut rontal indraloka kedua hak itu adalah mutlak dimiliki pedande saja.
Khusus mengenai perkawinan antar kasta, maka hal itu bukan saja dilarang namun juga memiliki konsekuensi hukuman bagi yang melanggar. Hukumannya dari yang hanya sekedar penurunan kasta, pembuangan ke luar daerah sampai dengan yang paling kejam labuh geni (dibakar hidup-hidup) dan labuh batu (ditenggelamkan di laut dengan pemberat batu). Perkawinan asu mundung dan anglangkahi karang hulu merupakan aturan yang bersumber dari kitab manawa dharmasastra yang di Bali sering menjadi patokan penyelenggaraan kehidupan sosial yang (katanya) baik. Dalam kitab inilah terdapat aturan-aturan terkait kasta yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan kelahiran bukan berdasarkan gunanya. Bahkan, oleh penerjemahnya pun, beberapa ketentuan dalam kitab ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang dan tidak dapat diberlakukan secara mutlak.
Tidak hanya sampai pada masalah perkawinan, masalah kasta kemudian juga tidak lepas dengan urusan pemuput upacara (sadhaka). Masing-masing soroh di Bali, baik itu Pasek, Pande, Bhujangga waisnawa memiliki aturan dalam prasastinya masing-masing untuk menggunakan panditanya sendiri-sendiri dalam kegiatan keagamaan, namun diskriminasi telah menimbulkan adanya pengkotak-kotakan para pandita tersebut dilihat dari kastanya ketika masih walaka. Perjuangan kesetaraan sadhaka inilah yang kemudian diperjuangkan oleh kaum Pasek, Pande dan Bhujangga Waisnawa. Tuntutannya tidak hanya sebatas pengakuan kesetaraan saja, namun juga implementasi di lapangan berupa penggunan sarwa sadhaka dalam upacara-upacara yang bersifat umum. Perjuangan ini mencapai puncaknya dengan digunakannya sarwa sadhaka pada upacara Panca Wali Krama di pura Besakih pada tahun 1999, meskipun sampai sekarang masih mengalami pasang surut.
Apa sebenarnya yang dipermasalahkan dalam kasta? Tidak lain adalah kesetaraan. Mereka yang berkasta (tidak semuanya mungkin) menuntut haknya untuk diperlakukan lebih istimewa daripada yang lain, padahal dibalik tuntutan akan hak tersebut tersimpan kewajiban yang harus mereka laksanakan jikalau tidak ingin diturunkan kastanya (patita wangsa). Rontal widhi pepincatan adalah salah satu rontal yang menyebutkan larangan-larangan bagi triwangsa yang jika dilanggar akan dikenakan patita wangsa. Larangan itu antara lain larangan bersawah ladang, berniaga, memikul barang, menggembala, hidup dari menerima upahan, berjudi, menjadi parekan atau budak apalagi budak bangsa asing dll. Apabila disimak lebih lanjut maka terkait dengan larangan menjadi budak, apabila hal ini dilaksanakan secara konsekuen maka seharusnya golongan triwangsa ini sudah terkena patita wangsa (menjadi sudra) ketika bali menjadi jajahan bangsa Belanda. Selain dalam rontal itu, larangan-larangan bagi triwangsa juga terdapat dalam rontal Brahmokta Widhi Sastra, Rontal Catur Brahmawangsa Tattwa dan Manawa Dharmasastra. Apabila kemudian dalam dharma wacana akhir-akhir ini seringkali ada seruan untuk kembali memberlakukan seluruh rontal-rontal maka hal tersebut hendaknya dikaji lebih dalam lagi karena tidak semua rontal masih sesuai dengan kondisi pada masa sekarang.
Secara keseluruhan buku ini menurut saya mampu memberikan tambahan pengetahuan terutama dari aspek historis keberadaan kasta di Bali. Meskipun demikian, beberapa ulasan penulis menurut saya agak mengganggu pesan yang ingin disampaikan karena memberi kesan adanya unsur kemarahan dan opini pribadi penulis yang kurang relevan untuk disampaikan kepada pembaca. Buku yang layak dibaca untuk memberikan pemahaman bahwa semua manusia adalah setara dan biarkanlah kasta menjadi catatan sejarah saja untuk sekedar pengetahuan bukan untuk mendiskriminasi umat manusia. Semoga semua makhluk berbahagia.
I Wayan Agus Eka
Mardana said
Memang susah bli, nma’a jg manusia. . .:)
saya sndiri bangga ma soroh pedidi bli, soroh pulasari. . .
Mudah”an g jd fanatik. . .:D
I Wayan Agus Eka said
Yap, setiap orang berhak dan wajib untuk bangga pada sorohnya masing-masing sebagai bentuk rasa hormat pada leluhur. Namun yang lebih penting adalah jangan sampai kebanggaan itu di sisi lain menimbulkan sikap merendahkan soroh yang lain dan merasa soroh sendiri paling mulia, paling hebat dll. Suksma sampun mampir
gus mot said
masalah yang nggak akan pernah ada habisnya yang bro..
dewisatya said
terima kasih karena sudah membaca tulisan alm ayah saya.
I Wayan Agus Eka said
maaf, saya baru tahu kalau beliau sudah ga ada, turut berduka ya, yang penting karyanya akan selalu hidup. Suksma sampun mampir
yudi said
saya paling benci dengan orang bali yang fanatik dengan gelarnya.Apalagi dengan yang karena gelarnya selalu minta untuk dihormati. Tapi akhirnya ada hal yang membanggakan, bali bisa dipimpin oleh orang biasa.
I Wayan Agus Eka said
yes, agree
sisiketiga said
ketika kasta tak lagi kusut,maka bali akan kehilangan salah satu budaya yang sebenarnya sudah hilang,,,
I Wayan Agus Eka said
ehmmm, maksudnya napi nggih??apa kasta itu budaya?
wayan sudarma said
saya percaya tidak semua orang hindu india ataupun nusantara boleh atau bisa mengerti semua makna kitab2 suci nya harus ada yang dirahasikan atau disamarkan, he3 mungkin saja bisa ada bahaya badai petir ato kebakaran lahan ato mungkin kunci pintu rumahnya bisa rusak. mungkin saat siklus varna berhenti berputar, saat api bisa dipadamkan serta tidak meluas dan berhenti membakar mungkin barulah masalah varna asrama ini menjadi polemik, daripada sibuk ngurusin varna asrama malah bikin kebakaran hutan lagi bagi saya biar saja dunia seperti ini, semoga damai selama lamanya, he3 biar tidak kiamat lagi. puji syukur sebesar besarnya pada Sang Pencipta Dunia
I Wayan Agus Eka said
Setuju, yang terpenting kita semua bermanfaat semasih diberi nafas oleh-Nya. Suksma
i gusti nyoman tantre said
Mantap
I Wayan Agus Eka said
Terima kasih
Muhammad Maskur said
Salam Kenal dari saya,
Sunguh menarik pembahasan mengenai kasta, maaf pembahasan ini sudah sedikit saya salah artikan,
Namun, setelah bertemu dan Berkonsultasi dengan Pembimas agana Hindu di Banjarmasin, sedikit banyak saya sudah mengerti mengenai Kasta dalam Weda tidak ada,
Bolehkah saya memiliki bukuy,… sebagai bahan belajar, atau dimanakah saya bisa menemukan buku itu,
Muhammad Maskur said
Yang ada adalah Warna, pembagian profesi kerja,
terimakasih
I Wayan Agus Eka said
Terima kasih kembali, semoga bermanfaat.
I Wayan Agus Eka said
Salam kenal juga dari saya. Seingat saya, saya mendapatkan buku ini di toko buku di Denpasar, tapi saya juga kurang yakin apakah dijual juga di toko buku sejenis di luar Bali, mungkin bisa ditanyakan langsung ke penerbitnya. Salam
Widana said
Harapan saya hendaknya buku, mengurai benang kusut kasta di bali ini bisa membuka mendung yg membelengu umat dalam interaksi sosial darii feodalisme kaum tertentu dengan seenaknya memperbudak kaum yg dianggap rendah, dengan demikian harapan humanisme sejagat menuju keTuhanan dapat terbina, Vasudeva kutumbakam”