Gede Prama: Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan
Posted by I Wayan Agus Eka on August 18, 2010
Rumah kesedihan, begitulah sang penulis menyebutkan buku atau rumah intelektualnya yang ke-23. Disebut demikian karena suasana ketika menyusun buku ini diliputi kedukaan umat manusia. Bom meledak, bencana alam, terorisme datang silih berganti menghantui kehidupan manusia dan itu semua hanya memiliki satu wajah yang terwakili dalam satu kata, kesedihan.
Penulis mengajak pembaca untuk memahami sisi lain dari wajah kesedihan yang selama ini kita kenal. Kesedihan yang selama ini selalu kita hindari dan haramkan terjadi ternyata memiliki rupa menawan selayaknya wejangan guru yang memberikan pencerahan kepada kita semua. Kesedihan ibarat pondasi yang membangun kokoh sebuah rumah kehidupan, bahkan terlalu sulit untuk menemukan kehidupan yang kokoh dan kuat tanpa gunungan kesedihan. Banyak contoh yang sudah membuktikan hipotesis ini, Dave Palzer yang sekarang menjadi guru bagi banyak orang dulunya memiliki masa kecil yang penuh dengan penyiksaan, ancaman dan kekerasan, Rumi, seorang sufi yang dikagumi dunia timur dan barat baru bangkit ketika semua bukunya dibakar oleh gurunya. Bagi tokoh-tokoh tersebut, kesedihan ibarat vitamin yang membantu pertumbuhan sang jiwa.
Dalam kehidupan manusia, pemaknaan merupakan hal yang sangat krusial. Bagaimana sebuah kejadian dimaknai menjadi sebuah kunci yang menentukan. Dalam hal kesedihan, dia menjadi destruktif ketika dimaknai destruktif. Termasuk dalam pemaknaan destruktif ini adalah dihukum Tuhan, Tuhan sedang marah, karena kehidupan penuh dosa dll. Setiap kejadian seharusnya dapat dimaknai sebagai “sidik-sidik jari Tuhan”. Kesedihan juga seperti itu, kesedihan menghadirkan pemurnian yang tidak dapat dihadirkan oleh kebahagiaan.
Kebahagiaan ibarat komoditas andalan yang selalu dicari oleh setiap orang. Dia hampir selalu dicari dengan membeli mobil, perhiasan, kekayaan, keterkenalan dll. Namun, sebagaimana kesedihan, kebahagiaan yang dicari ke luar bersifat sama, selalu datang dan pergi, bersifat keropos mudah diterbangkan angin kehidupan. Lalu bagaimanakah cara memperoleh kebahagiaan? Pertama adalah mendidik rasa berkecukupan karena sekaya apapun anda akan tetap merasa miskin ketika tanpa berkecukupan, dan semiskin apapun anda akan tetap kaya ketika sudah mampu mengatakan cukup. Kedua adalah mengelola harapan, memiliki harapan tidaklah salah bahkan berguna sejauh harapan hanya dianggap sebagi sebuah sumber energi yang membantu pencapaian. Namun harapan akan menjadi bencana ketika dia menjadi sebuah kekuatan pendikte yang terlalu memaksakan diri untuk menjadi sebuah kenyataan. Ketiga adalah menyadari bahwa kita hidup dalam kekinian bukan dalam masa lalu ataupun masa depan sehingga sangat penting untuk berlatih bersyukur dalam kekinian atas apapun yang dicapai maupun belum tercapai.
Keheningan adalah muara dari sebuah pemahaman atas kesedihan dan kebahagiaan, sebuah wilayah yang amat sulit untuk dideskripsikan dengan kata-kata, karena mendefinisikannya justru akan membatasi ketinggian makna dari keheningan itu sendiri. Mencapainya membutuhkan apa yang disebut dengan ketidakmelekatan, suatu kondisi dimana tidak terlalu melekat pada kebahagiaan dan tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan.
Mencapai keheningan ibarat menanak nasi menggunakan kompor. Pada awal memasak dia membutuhkan api yang besar (baca: keinginan yang besar, banyak harapan, banyak cita-cita, usaha yang super keras), namun sekian lama maka akan memasuki wilayah api kecil yang merupakan lingkungan penuh rasa syukur dan siap-siap memasuki alam keheningan. Mencapai sebuah keheningan dan pencerahan ibarat bayangan bulan dalam air, bulannya tidak basah karena air dan airnyapun tidak terpecah karena bulan. Dengan kata lain, inti pencerahan adalah tidak tersentuh, tidak marah ketika dimaki, tidak sombong tatkala dipuji, tidak jumawa pada kebahagiaan tidak tenggelam pada kesedihan. Dan kunci untuk mencapai pencerahan ini adalah rasa berkecukupan lalu biarkan hidup menjadi 4 M: mengalir, mengalir, mengalir dan mengalir.
I Wayan Agus Eka
Anom said
Sangat mencerahkan, semoga kita bisa menjadi pribadi yang selalu merasa berkecukupan, dan tdk membiarkan diri (Sang AKU) terbenam dalam kemelekatan.
Namaste
I Wayan Agus Eka said
suksma sudah mampir