Tulisan ini dimuat di harian Balipost edisi 31 Agustus 2010
Archive for August, 2010
Mereformasi Polri dengan Pendekatan ”Top Down”
Posted by I Wayan Agus Eka on August 31, 2010
Posted in Published Writing | 1 Comment »
Belajar dari Sang Tukang Parkir
Posted by I Wayan Agus Eka on August 27, 2010
Sejenak mata ini menoleh ke pergelangan tangan, ahhh sudah jam 7 malam ternyata, lalu secepat kilat saya habiskan beberapa potong pisang bakar keju di hadapan saya, menu kedua buka puasa (padahal ga puasa dink, hehehe) setelah nasi goreng yang saya nikmati di sebuah tempat nongkrong di bilangan Al-Azhar yang sebenarnya lebih terkenal dengan roti bakarnya. Kaki ini pun kemudian melangkah pelan menuju tempat parkir motor sambil menghirup udara jakarta yang kali ini terasa sangat segar setelah dibasahi hujan, seakan mengerti bahwa seorang anak manusia di bawah sana yang dari semenjak pagi dihadapkan pada sebuah ujian kesabaran yang membuat tangan ini selalu mengurut dada.
Kunci motor kuambil, kemudian gembok motor kubuka dan jaket tipispun aku kenakan. Di seberang sana kurang lebih 3-4 meter tampak seseorang dengan pakaian khas tukang parkir sedang sibuk membantu seorang pelanggan yang hendak memarkir motornya. Cukup susah payah tampaknya sang tukang parkir menarik-narik motor tersebut karena sempitnya tempat yang tersedia dan kondisi lahan yang masih basah. Perlengkapan sudah aku kenakan dengan lengkap, tinggal memakai helm saja, dan sang tukang parkirpun melangkahkan kakinya ke arahku.
Sejurus kemudian aku merogoh dompet bersiap-siap mengeluarkan uang ongkos parkir. Semua tampak berjalan sebagaimana biasanya sampai saat aku menyerahkan selembar uang 5 ribu dan sang tukang parkir kemudian menerimanya. Tapi yang membuat aku tersentak dan seperti tersambar adalah bagaimana cara bapak itu menerima uangku. Dijulurkan tangan kanannya sembari tangan kirinya memegang tangan kanannya, kemudian sedikit direndahkannya tubuhnya dan dari bibirnya terdengar jelas “maaf pak”. Sungguh sopan sekali bapak ini, diperlakukan demikian aku langsung mengalihkan pandangan memandangi wajahnya dan benar saja, rona muka bapak ini memberi kesan yang berbeda, tenang, kalem, senyum seolah-olah tiada beban dan sangat menikmati profesinya itu. Mendadak lamunanku hilang ketika beliau menjulurkan tangannya dengan cara yang sama ketika dia menerima uangku sambil berujar “maaf pak, ini kembaliannya”.
Tidak hanya berhenti disana ternyata, ketika aku sudah menaiki motor, di depanku ada sepasang kakek nenek mau menyeberangi jalan, sontak bapak tukang parkir itu langsung memasang badan di tengah jalan menyetop kendaraan yang lewat memberikan ruang bagi kakek nenek itu untuk melintas. Ketika aku dan motorku mau menyeberangpun, beliau juga melakukan hal yang sama dan yang luar biasa aku dengan sangat jelas mendengar ucapan “terima kasih” dari bapak itu ketika aku dan motorku menyeberangi jalan.
Ahhh.. sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa menurutku dan aku yakin bukan hanya aku yang pernah mengalami peristiwa ini. Hanya menerima 1000 rupiah dariku namun aku mendapatkan lebih dari selembar uang seribu itu, hanya menerima lambaian tangan dari sang kakek nenek namun hal tidak membuat bapak tukang parkir ini kemudian memperdebatkan masalah keadilan, karena dia tidak paham apa yang namanya keadilan, dia tidak paham apa yang sering kita sebut dualitas hak dan kewajiban, karena baginya hanya ada satu, keluasan keikhlasan yang luar biasa yang dia wujudkan melalui pengabdian yang tulus pada profesi tukang parkir yang seringkali kita pandang sebelah mata.
Malam ini tidak hanya perutku yang kenyang, namun bapak tukang parkir itu telah memberi makanan bagi jiwaku. Terima kasih
I Wayan Agus Eka
Posted in Daily Notes | 7 Comments »
Transfer Pricing: Criticism for Recent Methods
Posted by I Wayan Agus Eka on August 25, 2010
Transfer pricing has emerged as one of the most important issue worldwide especially in taxation. Transfer pricing has been accused as the main tools to avoid tax in developed and developing countries by shifting income to lower tax rate countries so the company will save the tax expense globally. Realizing this matter, many countries have developed their transfer pricing regulation to minimize their tax leakage and maintain their nation interest for their nation welfare.
OECD TP guideline as the main source of the local TP regulation across worldwide, has delineated 5 main methods to test the arm length principle in controlled transaction i.e. TNMM, Profit Split Method, Cost Plus Method, Resale Price Method, and CUP Method. The main principle for those methods are comparison of rate of return across firms. Basically the rate of return from independent transaction is imputed to the controlled transaction in accordance to find the arm length amount of affiliated transaction.
Theoretically, the economic rate of return in market are equalized in long run in competitive market condition, nevertheless TP methodologies use accounting rate of return to substitute the economic rate of return although those rate of return concept is significantly different and can not interchangeable. The calculation of economics profit reflects the actual timing of investment and incorporates all cost including the cost of equity capital. The economic profit rate is defined as the rate that equates the discounted present value of forecasted after tax free cash flow generated by given investment project with the initial outlays required.
Accounting analysis only present a performance indicator for short period of time, therefore firms generally do not maximize their accounting rate of return because that effort do not yield highest possible return for shareholder. As the consequence, there are no enough argumentation and theory to use profit level indicator across firms as a basis to determine arms length PLI for affiliated companies.
Criticism for CPM and TNMM
CPM and TNMM are indirect method that is used in determining the arms length value of the controlled transaction. Those methods are applied by using net income as the basis of profit level indicator. Some ratio that is frequently used are operating profit to sales or total cost, gross profit to operating expense (berry ratio) etc. The arm length principle for this method is applied by comparing the independent company ratio to tested party ratio and use the difference as the basis in determining the arms length value.
Those ratio that is used in CPM and TNMM is accounting rate of return that theoretically different with the economic rate of return. We can only equalize, across the companies, the economic rate of return (not accounting rate of return) in competitive market and only in long term period. For those reason, that’s way there is no evidence to expect firms to earns the same accounting rate of return in applying arms length principle in controlled transaction.
Criticism for CP and Resale Price Method
CP and RP methods are include in direct methods in TP regulation. Basically these two methods use the same profit level indicator i.e. gross profit, but different in the application. CP use cost of goods sold (COGS) as the basis (mark up) but RP use sales of the reseller as the basis (gross profit margin).
As previously noted, there is no reason to expect gross margin or mark up to equalized across firms, therefore the application of arms length principle by using mark up/gross margin from independent transaction to controlled transaction, can not be justified.
Criticism for comparable uncontrolled price (CUP) method
This method is the most direct method and OECD’s most favorable method as declared on their TP Guideline. This method compare sales of the independent transaction directly to sales in the controlled transaction. Hence, the standard of comparability for this method is very high as compared to others methods.
For this method, the sales of tangible goods and service of independent transaction may or may not be equalized to the affiliated transaction depending on the degree of market competitiveness. When the companies operate in truly competitive market, the CUP method is accepted in the economic principle, conversely when the market is imperfectly competitive, the CUP method can not be justified. The main problem today is the difficulties in finding the pure product that is traded in competitive market. Competitive market always require several prerequisite, e.g. homogeneity of product, relatively ease in entering the market, symmetric information between buyer and seller, and ease in switching buyer or seller.
I Wayan Agus Eka
Posted in Taxes | 1 Comment »
Gede Prama: Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan
Posted by I Wayan Agus Eka on August 18, 2010
Rumah kesedihan, begitulah sang penulis menyebutkan buku atau rumah intelektualnya yang ke-23. Disebut demikian karena suasana ketika menyusun buku ini diliputi kedukaan umat manusia. Bom meledak, bencana alam, terorisme datang silih berganti menghantui kehidupan manusia dan itu semua hanya memiliki satu wajah yang terwakili dalam satu kata, kesedihan.
Penulis mengajak pembaca untuk memahami sisi lain dari wajah kesedihan yang selama ini kita kenal. Kesedihan yang selama ini selalu kita hindari dan haramkan terjadi ternyata memiliki rupa menawan selayaknya wejangan guru yang memberikan pencerahan kepada kita semua. Kesedihan ibarat pondasi yang membangun kokoh sebuah rumah kehidupan, bahkan terlalu sulit untuk menemukan kehidupan yang kokoh dan kuat tanpa gunungan kesedihan. Banyak contoh yang sudah membuktikan hipotesis ini, Dave Palzer yang sekarang menjadi guru bagi banyak orang dulunya memiliki masa kecil yang penuh dengan penyiksaan, ancaman dan kekerasan, Rumi, seorang sufi yang dikagumi dunia timur dan barat baru bangkit ketika semua bukunya dibakar oleh gurunya. Bagi tokoh-tokoh tersebut, kesedihan ibarat vitamin yang membantu pertumbuhan sang jiwa.
Dalam kehidupan manusia, pemaknaan merupakan hal yang sangat krusial. Bagaimana sebuah kejadian dimaknai menjadi sebuah kunci yang menentukan. Dalam hal kesedihan, dia menjadi destruktif ketika dimaknai destruktif. Termasuk dalam pemaknaan destruktif ini adalah dihukum Tuhan, Tuhan sedang marah, karena kehidupan penuh dosa dll. Setiap kejadian seharusnya dapat dimaknai sebagai “sidik-sidik jari Tuhan”. Kesedihan juga seperti itu, kesedihan menghadirkan pemurnian yang tidak dapat dihadirkan oleh kebahagiaan.
Kebahagiaan ibarat komoditas andalan yang selalu dicari oleh setiap orang. Dia hampir selalu dicari dengan membeli mobil, perhiasan, kekayaan, keterkenalan dll. Namun, sebagaimana kesedihan, kebahagiaan yang dicari ke luar bersifat sama, selalu datang dan pergi, bersifat keropos mudah diterbangkan angin kehidupan. Lalu bagaimanakah cara memperoleh kebahagiaan? Pertama adalah mendidik rasa berkecukupan karena sekaya apapun anda akan tetap merasa miskin ketika tanpa berkecukupan, dan semiskin apapun anda akan tetap kaya ketika sudah mampu mengatakan cukup. Kedua adalah mengelola harapan, memiliki harapan tidaklah salah bahkan berguna sejauh harapan hanya dianggap sebagi sebuah sumber energi yang membantu pencapaian. Namun harapan akan menjadi bencana ketika dia menjadi sebuah kekuatan pendikte yang terlalu memaksakan diri untuk menjadi sebuah kenyataan. Ketiga adalah menyadari bahwa kita hidup dalam kekinian bukan dalam masa lalu ataupun masa depan sehingga sangat penting untuk berlatih bersyukur dalam kekinian atas apapun yang dicapai maupun belum tercapai.
Keheningan adalah muara dari sebuah pemahaman atas kesedihan dan kebahagiaan, sebuah wilayah yang amat sulit untuk dideskripsikan dengan kata-kata, karena mendefinisikannya justru akan membatasi ketinggian makna dari keheningan itu sendiri. Mencapainya membutuhkan apa yang disebut dengan ketidakmelekatan, suatu kondisi dimana tidak terlalu melekat pada kebahagiaan dan tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan.
Mencapai keheningan ibarat menanak nasi menggunakan kompor. Pada awal memasak dia membutuhkan api yang besar (baca: keinginan yang besar, banyak harapan, banyak cita-cita, usaha yang super keras), namun sekian lama maka akan memasuki wilayah api kecil yang merupakan lingkungan penuh rasa syukur dan siap-siap memasuki alam keheningan. Mencapai sebuah keheningan dan pencerahan ibarat bayangan bulan dalam air, bulannya tidak basah karena air dan airnyapun tidak terpecah karena bulan. Dengan kata lain, inti pencerahan adalah tidak tersentuh, tidak marah ketika dimaki, tidak sombong tatkala dipuji, tidak jumawa pada kebahagiaan tidak tenggelam pada kesedihan. Dan kunci untuk mencapai pencerahan ini adalah rasa berkecukupan lalu biarkan hidup menjadi 4 M: mengalir, mengalir, mengalir dan mengalir.
I Wayan Agus Eka
Posted in Book that i've read | 2 Comments »
Redefinisi Merdeka
Posted by I Wayan Agus Eka on August 16, 2010
65 tahun sudah kita menikmati apa yang kita definisikan sebagai merdeka. Sebelum 1945, merdeka bermakna melepaskan diri dari penjajah. Penjajah pun bermakna harfiah yaitu bangsa yang menjejakkan kakinya di bumi pertiwi dan menguras seluruh harta bangsa ini. Perjuangan mencapai kemerdekaan pun dilakukan sebagian besar melalui angkat senjata dengan nyawa adalah taruhannya. Perjuangan mencapai kemerdekaan saat itu tidak hanya dilakukan oleh para pemimpin saja, namun oleh segenap rakyat tanpa memandang suku, status sosial, agama dll. Semuanya bersatu padu berjuang sekuat tenaga untuk mengusir penjajah. Tidak ada perpecahan, karena semuanya memiliki satu tujuan, satu nafas perjuangan dan satu cita-cita, indonesia merdeka.
Setelah kita merdeka dalam definisi yang pertama, maka kemudian makna merdeka mengalami pergeseran. Meskipun merdeka dalam definisi ini masih berkutat dalam perjuangan melawan penjajah namun penjajah yang kita hadapi bukan lagi berwujud bangsa lain yang menduduki indonesia secara fisik namun berwujud kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan bahasa-bahasa lain yang semakna dengan itu. Dalam hal tersebut di atas maka ada benang benang merah yang jelas antara definisi apa yang menjajah bangsa ini sebelum dan sesudah proklamasi, ada kesamaan makna antara bangsa yang menjajah dahulu dengan kemiskinan, ketidakadilan dll yang menjajah kita sekarang.
Namun ada satu benang merah yang terputus antara definisi merdeka sebelum dan sesudah proklamasi. Benang yang putus itu adalah definisi pejuang itu sendiri. Dahulu seluruh rakyat indonesia adalah pejuang yang tangguh memerangi penjajah untuk mencapai kemerdekaan, semua rakyat tanpa kecuali bersatu padu memikul beban sesuai dengan kemampuannya untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Namun sekarang rasanya persatuan para pejuang itu sudah luntur. Komponen bangsa ini terlalu sibuk untuk saling menyalahkan kenapa bangsa ini belum “merdeka”, terlalu sibuk mencari kambing hitam siapa yang bertanggung jawab atas masih adanya kemiskinan, kemelaratan dll. Pejuang pada masa sekarang hampir selalu diasosiasikan dengan pemerintah saja, sehingga pemerintahlah yang menjadi kambing hitam ketika “kemerdekaan” belum bisa tercapai. Hujatan-hujatan seringkali dialamatkan kepada pemerintah yang dinilai tidak becus dalam mengusir “sang penjajah” dari negeri ini.
Mengapa kita masih mengalami “penjajahan”? Tidak lain karena kita tidak bersatu, kita tidak merasa memiliki satu tujuan “kemerdekaan” sebagaimana pejuang dahulu. Pejuang kemerdekaan yang dahulu adalah seluruh rakyat indonesia tidak berlajut ketika kita menghadapi penjajah bernama kemiskinan dll, makna “pejuang kemerdekaan” sekarang hanyalah segelintir orang-orang yang sering dihujat dan dikritik tanpa batas karena dianggap gagal “memerdekakan” Indonesia. Padahal untuk mencapai “kemerdekaan” setelah proklamasi ini, pejuang yang bermakna seluruh komponen bangsa merupakan syarat yang utama. Sehingga, Pemerintah, Saya, dan Anda semua adalah pejuang itu persis ketika seluruh komponen bangsa ini mengusir penjajah dahulu kala.
Menyadari hal ini akan menjadi tidak elok ketika kita hanya menyalahkan salah satu pihak ketika sang penjajah (baca: kemiskinan, kebodohan dll) masih merongrong negeri ini. Salahkanlah kita semua, salahkanlah saya dan anda, karena saya dan anda juga pejuang itu dan ini adalah perjuangan kita bersama, Bangsa Indonesia. MERDEKA
I Wayan Agus Eka
Posted in Daily Notes | 2 Comments »
Belajar dari Kegagalan Ibu Kota
Posted by I Wayan Agus Eka on August 11, 2010
Tulisan ini dimuat di harian Balipost edisi Rabu 11 Agustus 2010
Posted in Published Writing | 2 Comments »
Hari Ulang Tahun, Lupakan Kelahiran Maknai Kematian
Posted by I Wayan Agus Eka on August 3, 2010
“Tepat 26 tahun yang lalu lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal dengan nama…..” mungkin begitulah ungkapan yang sering kita dengar ketika seseorang berulang tahun. Tidak ada yang salah memang dalam ungkapan tersebut karena ulang tahun yang kita kenal umumnya dimaknai sebagai peringatan hari kelahiran kita, sebuah hari yang begitu bersejarah yang menandai kelahiran seorang anak manusia.
Namun mungkin sedikit sekali orang yang menyadari untuk memaknai kematian dalam setiap hari ulang tahunnya. Pemikiran yang sangat radikal memang bahkan bisa dikatakan nyeleneh dan tidak populis untuk memaknai sebuah hari yang sangat membahagiakan. Seberapa sadar kita bahwa dibalik pemahaman bertambahnya umur saat berulang tahun, namun pada saat yang sama juga terselip makna implisit bahwa ulang tahun juga berarti mendekatnya kita kepada akhir perjalanan kita sebagai manusia. Ya, bertambahnya umur juga berarti berkurangnya umur di lain sisi, persis seperti kita memaknai sebuah gelas yang berisi air separuh, kita bisa mengatakan gelas tersebut separuh penuh namun jangan salahkan ketika ada yang mengatakan gelas itu separuh kosong.
Berbagai keyakinan (baca:agama) mengajarkan hal yang sama bahwa umur manusia sudah dituliskan dalam satu kata yang disebut takdir. Tidak ada yang tahu kapan kita akan dijemput malaikat maut, mungkin sedetik nanti, besok, sebulan lagi atau puluhan tahun lagi, namun inilah jenis kepastian yang mutlak yang di dunia ini.
Lalu, mengapa mengidentikkan ulang tahun dengan kematian??karena kematian mengajarkan makna bersyukur yang menurut saya jauh melebihi kelahiran itu sendiri. Gede Prama dalam karyanya mengatakan bahwa bagaimana kita bisa menghargai kehidupan kalau tidak bisa memaknai kematian. Mengingat kematian sebagai sebuah kepastian memberikan pemahaman untuk selalu berterima kasih karena masih diberikan nafas kehidupan sehingga bisa menikmati pertambahan umur. Karena kematian selalu identik dengan “akhir perjalanan” maka memaknainya ketika berulang tahun juga berarti bahwa sang pemberi kehidupan masih mempercayai kita untuk masih menghuni badan kasar ini untuk melanjutkan tugas-tugas yang belum selesai, untuk membahagiakan dan menerima limpahan kasih darii orang-orang yang kita cintai dan yang lebih penting untuk memperbaiki diri menuju tangga-tangga yang lebih tinggi.
Tulisan ini bukan bermaksud memberi ceramah apalagi menggurui, sangat jauh dari itu. Ini hanya pemikiran yang melintas sekilas di benak saya, jadi mohon maaf ketika timbul kesan-kesan seperti itu.
Ahhh, hari ini aku berulang tahun, tidak ada kue apalagi pesta, hanya tundukkan kepala memanjatkan doa dan itu sudah lebih dari cukup. Sengaja memposting tulisan saat-saat menjelang pergantian hari ulang tahun ke keesokan harinya, bukan bermaksud apa2, hanya ingin mengenang sebuah kue strawberry keju dan sebatang lilin pada tengah malam beberapa bulan yang lalu.
Suksma Hyang Widhi
I Wayan Agus Eka
Posted in Daily Notes | Leave a Comment »
Tumbuhkan Budaya Malu Memakai BBM Bersubsidi
Posted by I Wayan Agus Eka on August 2, 2010
Tulisan ini dimuat di harian balipost edisi 30 Juli 2010
Posted in Published Writing | Leave a Comment »