Senin malam 28 Juni 2010, entah kenapa aku menulis status FB yang menyiratkan rasa kangenku dengan keluarga di Bali. Aku merindukan orang tuaku, adikku, kakekku dan saudara-saudara lainnya. Merekalah pahlawan-pahlawanku sehingga aku bisa mencapai seperti sekarang ini.
Keesokan harinya, saat mata ini baru terbuka sempurna, tanganku langsung membuka laptop kesayangan. Membuat susu dan memberi tubuh ini 4 keping regal yang aku campur dengan selai coklat sambil tanganku membuka-buka situs berita yang setiap pagi rutin aku lakukan. Sampai suatu ketika aku membuka salah satu tulisan di kompasiana, aku lupa judul dan pengarangnya siapa, namun satu makna penting yang aku tangkap dari tulisan itu ketika pada baris terakhirnya sang penulis mengatakan bahwa ketika kita kehilangan salah satu anggota keluarga maka Tuhan telah menutup salah satu pintu untuk berbuat baik.
Aku menganggap apa yang aku baca di pagi itu adalah sesuatu yang biasa saja, tidak ada istimewa karena saat itu aku menganggap tulisan itu sama saja dengan tulisan-tulisan inspiratif yang sering aku baca. Sampai siang aku melewatkannya dengan aktivitasku di kost dan mengunjungi kampus sebentar, sesuatu yang rutin aku lakukan beberapa hari belakangan setelah aku yudisium.
Sampai akhirnya sore hari sekitar jam 3, ketika aku di depan laptop browsing, tiba-tiba HP berbunyi. “Nyokap”, begitulah nama yang keluar dari HP ku yang menandakan bahwa yang menelpon adalah ibu. “Ah, paling ibu cuman nanyain apa aku sehat, apa sudah makan, lagi dimana” begitu gumamku sebelum mengangkat telponnya. Begitu aku angkat, tanpa memakai kata “halo” ibu langsung ngomong “gus, pekak sube mejalan” (nak, kakek sudah dipanggil), kata-kata yang begitu singkat namun langsung menohok dada ini. Aku berusaha tegar, menahan diri, namun suara ibuku yang sesenggukan akhirnya membuat aku juga tidak kuasa menahan air mata ini, sambil terbata aku hanya berujar “antosin bu, tyang lakar mulih” (tungguin saya bu, saya akan segera pulang).
Ya, kakekku memang akhirnya berpulang. Beliau memang sudah sangat lemah, sebulan terakhir bahkan praktis beliau tidak makan, hanya mengandalkan teh manis dan sesendok bubur tiap hari. Hampir 2-3 hari sekali aku nelpon pulang, ngobrol sama ibu/bapak dan selalu menanyakan bagaimana keadaan kakek, jawaban yang aku terima sama saja, beliau hanya minum teh manis dan sesendok atau dua sendok bubur. Terakhir, hari sabtu lalu aku menelpon sambil menunggu keberangkatan rombongan KMHB ke pura cinere, cukup lama waktu itu aku ngobrol ama bapak terutama ngobrolin kesehatan kakek, aku masih ingat saat itu aku meminta bapak untuk mencampurkan madu di teh yang biasa dia minum supaya ada energi yang masuk ke tubuhnya.
Baru aku menyadari, bahwa statusku di FB dan artikel kompasiana yang aku baca itu mungkin adalah firasat kalau aku harus pulang dan akan kehilangan salah satu anggota keluargaku. Tapi semuanya sudah terjadi, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah dari yang kita duga dan akhirnyapun kakekku bisa ketemu dengan nenekku yang sudah terlebih dahulu menghadapnya.
Bahwa semua yang hidup di dunia ini akhirnya akan mati adalah sebuah kepastian yang tidak akan dapat dihindari, namun meskipun merupakan sebuah kepastian tetap saja aku (mungkin juga Anda) merasakan kesedihan yang sangat ketika hal itu benar-benar terjadi. “Nah, mejalan sube pekak, cucun pekak niki tuah ngidang nunas ice mangde pekak nepukang marge ane rahayu, marge ane galang antuk sundih. Cingak-cingakin cucun-cucun pekake dini, yasang di kedituane apang makejang ngemolihang pasuecan widhi”
kamar kos, pk. 23.50, 29 Juni 2010
I Wayan Agus Eka