DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Menyoal Tajuk Rencana Harian Balipost 18 Mei 2010 tentang Pajak Makanan dan Minuman

Posted by I Wayan Agus Eka on May 20, 2010

Tulisan ini merupakan tanggapan atas Tajuk Rencana Harian Balipost edisi 18 Mei 2010 dengan judul “Pajak Makanan dan Minuman” (untuk selanjutnya penulis sebut sebagai tajuk) serta sekaligus menanggapi opini Saudara Wayan Suyadnya  pada harian dan tanggal yang sama dengan judul  “Tax Makanan dan Minuman Setelah UU 42/2009 Berlaku” (untuk selanjutnya penulis sebut sebagai opini). Segala substansi dalam tulisan ini merupakan opini penulis pribadi dan tidak mewakili instansi manapun.

Menarik untuk menyimak beberapa poin penting yang menurut penulis mengandung unsur ketidakakuratan sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman (bahkan penyesatan) terutama bagi pembaca tajuk rencana dan opini tersebut.

Tajuk dan opini tersebut menyebutkan bahwa UU Nomor 42 tahun 2009 mengatur tentang Penghapusan PPN dan PPnBM, padahal sangat jelas bahwa UU tersebut merupakan perubahan ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM. Jadi substansi UU Nomor 42 tahun 2009 mengatur berbagai hal terkait PPN dan PPnBM mulai dari perubahan objek pajak, faktur, fasilitas PPN dll, bahkan redaksional “penghapusan” sendiri sebagaimana dipakai dalam tajuk dan opini tidak ditemukan dalam batang tubuh dan penjelasan UU tersebut.

Kekeliruan utama dari tajuk dan opini tersebut adalah menyebutkan bahwa UU 42 2009 menghapus pungutan atas bisnis makanan dan minuman di hotel, restoran, rumah makan, warung, maupun catering sejak 1 April 2010. Bahwa memang benar pasal 4A ayat (2) huruf c UU 42 2009 menjelaskan bahwa “makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering  dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenai PPN”, namun apabila dibandingkan dengan pasal yang sama pada UU sebelumnya (UU Nomor 18 tahun 2000) maka tidak terdapat perubahan signifikan dalam redaksional, hanya terdapat penegasan dan tambahan bahwa usaha jasa boga/catering termasuk dalam barang yang tidak dikenakan PPN. Artinya, sebelum UU 42 2009 ini disahkan, sudah diatur bahwa makanan dan minuman yang masuk kategori tersebut termasuk barang yang tidak dikenakan PPN. Jadi ketentuan mengenai hal ini bukan merupakan hal yang baru diatur dalam UU 42 2009 karena sudah diatur dalam UU sebelumnya meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam konsiderannya.

Penjelasan ini memberikan kesimpulan bahwa penggunaan terminologi “menghapus” dalam tajuk dan opini tersebut kurang tepat karena “menghapus” memberikan makna bahwa sebelumnya makanan dan minuman dikenakan PPN namun dengan pemberlakuan UU 42 2009 menjadi tidak dikenakan PPN.

UU 42 2009 TIDAK MENGHAPUS pengenaan pajak atas makanan dan minuman tersebut, UU 42 2009 dalam hal ini menjalankan fungsinya untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas objek yang sama. Hal ini dapat dilihat dengan membaca dengan seksama penjelasan dari pasal 4A ayat (2) huruf c yang menyebutkan bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah”. Redaksional penjelasan ini memberikan makna bahwa karena makanan dan minuman tersebut menjadi objek pengenaan Pajak Daerah, maka untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas objek yang sama, maka UU PPN dan PPnBM mengkategorikan makanan dan minuman tersebut sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Pajak berganda yuridis dalam hal ini dapat terjadi apabila UU PPN tidak memuat aturan pengecualian ini, sehingga atas objek yang sama akan dikenakan pajak di tingkat pusat melalui UU PPN dan sekaligus di tingkat daerah melalui ketentuan dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Karena dalam UU PPN barang berupa makanan dan minuman tersebut tidak dikenakan PPN dan menjadi objek pajak daerah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan, maka menarik untuk menyimak bagaimana pengaturannya dalam UU PDRD. Pengenaan pajak dan retribusi daerah di seluruh daerah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang yang dalam hal ini UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Jadi dasar pemungutan pajak daerah adalah peraturan setingkat undang-undang bukan peraturan daerah sebagaimana disebutkan dalam tajuk dan opini .

Kalau membaca UU Nomor 28 2009, maka terkait dengan pajak restoran, peraturan daerah hanya berfungsi dalam penetapan tarif (pasal 40 UU PDRD) serta pengaturan nilai penjualan yang tidak termasuk pajak restoran (pasal 37 ayat (3) UU PDRD), namun dasar pemungutannya tetap menginduk pada UU PDRD khususnya pada pasal 2. Kaitan antara ketentuan dalam penjelasan UU PPN dengan pajak daerah dapat dilihat dalam pasal 37 ayat (2) UU PDRD yang menyebutkan bahwa pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun ditempat lain termasuk dalam objek Pajak Restoran yang menjadi salah satu jenis pajak daerah.

Kesimpulannya adalah, UU Nomor 42 tahun 2009 tidak melarang pengenaan pajak atas makanan dan minuman tersebut, UU nomor 42 tahun 2009 hanya memasukkannya dalam barang yang tidak dikenakan PPN (ingat bahwa PPN hanya satu dari sekian jenis pajak) karena penjelasan pasal 4A ayat (2) huruf c menyebutkan bahwa makanan dan minuman tersebut dikenakan pajak yang berjenis pajak daerah yang pengaturannya diatur lebih lanjut dalam UU PDRD (UU Nomor 28 tahun 2009). Kekurangakuratan dalam tajuk dan opini tersebut mungkin disebabkan karena adanya pemahaman yang keliru bahwa kalau sudah dikecualikan dari PPN maka tidak bisa lagi dikenakan pajak daerah. Padahal, atas objek makanan dan minuman ini memang sejatinya menjadi objek pajak daerah. UU PPN memberikan pengecualian secara tegas karena PPN secara alami akan mengenakan pajak atas setiap penyerahan barang kena pajak, sehingga apabila UU PPN tidak mengatur pengecualian ini maka penyerahan barang berupa makanan dan minuman akan terkena PPN sekaligus pajak daerah sehingga menimbulkan pajak berganda dan inilah yang sejatinya akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat (konsumen).

Dengan kesimpulan ini, maka pendapat dalam tajuk dan opini tersebut yang menyatakan bahwa pengenaan pajak atas makanan dan minuman tersebut adalah ilegal menjadi gugur, karena payung hukumnya sudah jelas diatur dalam peraturan setingkat undang-undang. Perda dalam hal ini hanya melaksanakan amanat sebagaimana diperintahkan dalam UU PDRD terutama terkait masalah tarif pajaknya.

Perda menjadi melanggar peraturan di atasnya (UU PDRD) misalnya apabila perda menetapkan objek pajak baru di luar jenis-jenis pajak yang diatur dalam pasal 2 UU PDRD. Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat (3) UU PDRD yang secara gamblang menjelaskan bahwa “Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)”. Perda juga melanggar apabila misalnya menetapkan tarif melebihi batasan maksimum sebagaimana diamanatkan dalam UU PDRD. Dengan kata lain, pemungutan pajak atas makanan dan minuman tersebut yang diatur dalam UU PDRD dan yang tarifnya diatur dalam perda, menjadi sah di mata hukum sepanjang perda menetapkan tarif masih dalam batasan yang diamanatkan UU PDRD.

Kesimpulan artikel ini yang menyebutkan bahwa pemungutan pajak daerah atas objek ini adalah legal di mata hukum juga menggugurkan bagian selanjutnya di tajuk dan opini yang menyebutkan mengenai bagaimana nasib uang rakyat yang sudah terlanjur dipungut akibat dari pemungutan pajak yang ilegal. Kesimpulan ini juga memberikan alasan mengapa pemerintah daerah tetap melaksanakan pungutan ini karena memang diatur dalam undang-undang (sekali lagi bukan diatur dalam perda) dan bukan hanya didasarkan atas kengototan belaka atau melawan peraturan yang lebih tinggi atau disebutkan hanya didasarkan pada hukum yang rapuh.

Apabila dalam tajuknya disebutkan bahwa “Wakil rakyat seharusnya proaktif melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah di daerahnya yang masih menarik pajak yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009”, maka seharusnya pemimpin redaksi harian ini juga harus proaktif melakukan penyaringan sebelum menyampaikan informasi ke publik karena ekses dari tajuk dan opini ini dapat berakibat luas. Masyarakat yang terlanjur mendapatkan informasi yang menyesatkan dapat saja melakukan boikot pembayaran pajak makanan dan minuman hanya karena didasarkan pada informasi yang sesat, padahal secara hukum pajak tersebut dijamin dalam undang-undang (ingat, bukan di perda ya). Apalagi kemudian ada bahasa bahwa “hasil pajak itu sudah disetor ke kas daerah melalui instansi dinas pendapatan daerah atau masih mengendap di kantong pengusaha atau pemungut pajaknya”, kalimat-kalimat seperti ini tentunya dapat membakar emosi pembaca di tengah kasus-kasus korupsi yang makin marak di negeri ini. Saya lalu menjadi ingat dengan salah satu pepatah jurnalistik yang terpasang di salah satu dinding di kantor pusat Balipost sendiri yang intinya mengatakan bahwa “ketika Anda menulis untuk menyenangkan orang lain maka Anda sudah tidak berada dalam dunia jurnalistik namun dalam seni pertunjukkan”.

Kesalahan dalam penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan penyesatan informasi bagi masyarakat. APALAGI APABILA HANYA MEMBACA SEPENGGAL PASAL saja tanpa memperhatikan penjelasan dan kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga sangat diperlukan komprehesivitas dalam menganalisa sebuah undang-undang. Semoga artikel ini mampu memberikan klarifikasi dan penjernihan dalam memahami peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perpajakan sehingga masyarakat menjadi paham akan arti pentingnya pajak bagi pembangunan bangsa dan negara tercinta.

I Wayan Agus Eka

Nb: tulisan ini sebenarnya sudah saya kirimkan ke harian Balipost pada dini hari tanggal 18 Mei 2010 namun sampai sekarang tidak diterbitkan, jadi lebih baik saya masukkan di sini supaya tetap dapat dibaca oleh publik. Saya hanyalah manusia biasa, kalaupun ada yang salah dari tulisan ini saya minta maaf, namun kalau ada kebenaran itu semata-mata berasal dariNya. Semoga pikiran suci datang dari segala arah.

Advertisement

4 Responses to “Menyoal Tajuk Rencana Harian Balipost 18 Mei 2010 tentang Pajak Makanan dan Minuman”

  1. Tulisan yang bagus Yan…
    Sayang Bali Post tidak/belum memuatnya
    Ada koreksi dikit, tertulis UU 28 tahun 2000, seharusnya UU 18 Tahun 2000.
    Tetap semangat ya menulisnya…

    Salam superdahsyat
    I Nyoman Widia
    http://ajaranhindu.blogspot.com

    • I Wayan Agus Eka said

      oh iya bli, seharusnya UU 18, maklum, nulisnya udah mau subuh, jadi mata udah 5 watt, hehehe…suksma atas koreksi dan kunjungannya

  2. ijin baca bli, nambah ilmu dulu 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

 
%d bloggers like this: