Merasakan Menjadi Hindu yang Sesungguhnya (sebuah catatan perjalanan)
Posted by I Wayan Agus Eka on May 9, 2010
Hari itu masih sore, matahari masih setia dengan tugasnya menyinari bumi ini dengan panasnya. Dua buah bus sudah terparkir di sisi jalan yang akan mengantarkan kami ke beberapa tempat suci di pedalaman Jawa Tengah. Ketika waktu menunjukkan sandikala, dua bus tadi memulai tugasnya membawa kami ke tempat tujuan. Ya, hari itu, Jumat 7 Mei 2010, saya dan puluhan rekan-rekan KMHB memulai sebuah perjalanan rohani menuju 3 buah pura di kota Klaten Jawa Tengah, sebuah perjalanan yang disebut dengan Dharma Yatra dan diamanatkan dalam kitab suci Weda.
Pura Pucang Sari, begitulah nama pura pertama yang kami kunjungi. Terletak di desa pucang dan berada di antara perkampungan penduduk dan sawah hijau di belakangnya. Kami disambut dengan senyum merekah dan wajah-wajah bahagia berjejer di sisi jalan sembari mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Om swastiastu, begitulah salam yang keluar dari mulut saya dan sesekali menjabat tangan hangat mereka yang sebagian besar sudah mulai keriput dimakan usia, hanya sesekali saya melihat kumpulan pemuda belia berusia belasan tahun. Saya merasa sangat bersyukur dan tersanjung mendapat sambutan yang menurut saya luar biasa dari umat setempat. Di tengah kehidupan mereka yang sederhana dan sebagian besar berprofesi sebagai petani, mereka menunjukkan penghargaan mereka kepada tamu yang mengunjungi tempat mereka. Dari makanan yang tersaji, pakaian yang mereka kenakan, pura yang dihias sedemikian rupa, acara yang sudah tersusun rapi tampak bahwa mereka sudah mempersiapkan semua ini dengan matang dan seksama. Bahkan di antara umat yang menyambut kami, ada seorang nenek yang mungkin sudah berumur 90 tahunan dan hanya bisa berjalan dengan posisi punggung yang bungkuk, namun masih tetap menyambut kami di tengah keterbatasan kondisi fisiknya, sungguh merupakan sebuah penghargaan bagi kami semua.
Dari dialog dengan umat setempat, saya mengetahui bagaimana sejarah berdirinya pura ini, bagaimana umat setempat bertahan dalam Dharma di tengah berbagai macam tantangan yang harus dihadapi. Umat di pura ini tercatat sekitar 92 kk dengan kurang lebih 400 jiwa penduduk. Meskipun seringkali saya harus mengkerutkan dahi karena bahasa Indonesia yang mereka gunakan seringkali dicampur dengan bahasa Jawa yang saya tidak mengerti, namun inti pesan mereka dapat saya tangkap dengan baik. Dalam satu kesempatan, seorang tokoh pura pucang sari berpesan kepada kami sebagai calon pegawai di bidang keuangan agar selalu menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan sehingga dapat mengabdi bangsa dan negara dengan baik, sebuah pesan yang merupakan intisari ajaran Tri Kaya Parisudha.
Perjalanan kami dilanjutkan di pura buwana pertiwi, sebuah pura yang letaknya sangat terpencil di bawah kaki sebuah bukit dan agak jauh dari pemukiman penduduk. Kami harus berjalan kaki sekitar 500 meter dari tepian jalan raya untuk mencapai lokasi pura ini. Sebuah candi gelung berwarna hitam dan menjulang tinggi menyambut kami sore itu di tengah cuaca yang cukup mendung, candi ini bermakna bahwa hendaknya setiap orang yang memasuki tempat suci memiliki pikiran yang terpusat ke Hyang Widhi. Meskipun tidak sebanyak pura sebelumnya, namun keramahtamahan umat setempat tetap menyambut kami dengan hangat.
Acara kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan bersama dan penyerahan bantuan dari kami kepada pengemong pura. Namun ternyata di tengah-tengah kami juga kebetulan hadir seorang tokoh hindu dari Cirebon yang akrab disapa Romo Maming (maaf saya lupa nama diksa beliau). Romo Maming dikenal di kalangan Hindu sebagai tokoh pekerja yang membangun kembali Hindu di nusantara ini melalui pengabdian beliau membangun tempat-tempat suci di pedalaman bagi pemeluk Dharma, sungguh merupakan anugrah yang tidak terkira dapat berjumpa dengan beliau, dan kami tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mendengarkan wejangan dari beliau.
Ditemani sepiring kacang rebus, setoples keripik singkong, dan beberapa buah pisang rebus yang disajikan saudara-saudara kami disana (ternyata setelah dihitung, saya menghabiskan satu buah pisang, keripik setengah toples dan segenggam kacang rebus, heheh, ternyata saya rakus), saya dan rekan-rekan dengan seksama menikmati wejangan dari Romo Maming di tengah mendung yang menggelayut dan suara binatang aneh yang kami perdebatkan setelah acara selesai (tenang kawan, rasanya itu bukan suara naga kok, hehe..). Romo Maming menceritakan bagaimana awalnya proses pembangunan pura ini yang ternyata baru berusia setahun dan bulan depan adalah piodalan perdananya. Dari wawancara dengan umat, saya mengetahui bahwa sebelum pura ini dibangun, para umat mengadakan persembahyangan secara bergilir dari satu rumah ke rumah lainnya atau dalam istilah mereka beranjangsana. Keberadaan pura ini bagi mereka adalah sebuah anugrah dari penantian mereka yang merindukan sebuah bangunan tempat suci dimana mereka dapat beribadah memuja Hyang Widhi Sesuhunan kita.
Romo Maming mengingatkan bahwa pertemuan ini merupakan salah satu sarana untuk menyatukan kembali umat Sedharma sebagaimana persatuan yang telah dicapai leluhur kita di masa lampau karena pada hakikatnya kita semua memiliki satu leluhur meskipun ada yang lahir di Bali, Jawa, Lampung dll. Romo maming juga menjelaskan tentang ajaran Tri Hita Karana sebagai ajaran yang diajarkan Sang Hyang Iswara kepada Sang Hyang Manu. Penerapan ajaran Tri Hita Karana ini, disadari atau tidak, telah kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari, yadnya sesa adalah wujud dari penghormatan kita dalam hubungan manusia dengan alam tak kasat mata, nyepi dalam hubungan kepada Tuhan dan lingkungan, Tawur dalam hubungan ke alam bhuta dan ramah tamah seperti yang kita lakukan ini adalah wujud dari pelaksanaan ajaran tersebut dalam kaitannya dengan hubungan antar sesama manusia.Menjadi seorang Dharmaduta, begitulah kira-kira pesan Romo Maming kepada kita semua. Bahwa sebagai calon abdi negara tentunya menjalankan kewajiban kepada negara adalah tugas utama kita namun janganlah lupa tugas Dharma sebagai umat Hindu.
Matahari sudah terbenam dan kami harus melanjutkan perjalanan kami ke pura terakhir, Pura Satya Dharma Putra. Sampai di lokasi pura, kami disambut dengan masalah klasik negeri ini, ya, ada pemadaman oleh PLN, ternyata bukan hanya jakarta yang mengalami masalah serupa, ckckck..Meskipun di tengah kegelapan malam dan hanya diterangi sinar lilin dan handphone, saya dan kawan-kawan berusaha melangkahkan kaki menuju pura sambil berdoa supaya listrik kembali menyala. Ternyata doa kami terkabul, listrik kembali menyala dan kemi dapat melanjutkan acara kami meskipun sebagian besar belum mandi (gpp lah kawan-kawan, ga mandi sehari ga bakalan berubah jelek kok, heheh…)
Pinandita memulai acara dengan mengucapkan mantram-mantram suci diiringi kidung-kidung Jawa dari umat setempat. Dari pendengaran saya sepertinya mantram yang diucapkan sang pinandita berbeda dengan mantram yang sering saya dengar karena didominasi bahasa jawa. Namun di tengah-tengah mantram tersebut, sang pinandita seringkali mengulang-ulang nama STAN Jakarta dan saya meyakini bahwa beliau mendoakan kami yang dari STAN Jakarta supaya selalu dalam lindungan-Nya dalam menjalankan kewajiban kami, atur nuhun pisan. Selain itu ada beberapa teknis sembahyang yang sedikit berbeda dari yang biasa kami lakukan, namun tidak menghalangi kami untuk mengikuti prosesi upacara tersebut. Dari ketiga pura yang kami kunjungi hari itu, pura terakhir ini terkesan “Jawa Bangetttt”, betapa tidak sampai pada acara sambutan dari pihak pura pun, jujur saja saya tidak dapat terlalu menangkap bahasa yang disampaikan oleh seorang sesepuh pura. Tapi ada satu hal yang saya tangkap dari beliau ketika beliau memaparkan tentang Hinduisme dan pemeluk Hindu. Hinduisme menurut beliau adalah sebuah ajaran yang tidak hanya dianut oleh pemeluk Hindu itu sendiri namun sudah menjadi sebuah pegangan hidup bagi seluruh manusia di dunia ini tanpa memandang perbedaan keyakinan.
Acara di pura terakhir ditutup dengan makan bersama. Oh ya, satu catatan tentang makanan daerah klaten, dari dua pura tempat kami makan, umat setempat menyajikan jenis sayur yang sama yaitu sayur daun pepaya (bahasa daerahnya katanya sayur kates). Namun bedanya, sayur kates di pura pertama agak manis jadi masih nyambung dengan lidah saya, namun di pura terakhir sayurnya super pahit jadi ga nyambung dengan lidah ini, untung aja ngambilnya dikit, maaf ya pak bu, bukan maksud saya tidak menghargai tapi seperti kata iklan, lidah memang tidak pernah bohong, hehehehe…
Makan malam di Pura Satya Dharma Putra mengakhiri perjalanan kami berDharma Yatra dan memulai perjalanan kami kembali ke kampus tercinta. Sebuah perjalanan yang sangat mengesankan dan memberikan makna dalam kehidupan saya. Perut ini mungkin dapat kenyang dengan makanan namun perjalanan ini merupakan makanan yang sangat sehat bagi jiwa ini yang senantiasa masih mencari dan mencari. Umat setempat mengajarkan kepada kami bahwa dalam kesederhanaan kita masih dapat memetik rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam melaksanakan kehidupan beragama, bahwa dalam kesederhanaan mereka juga tumbuh rasa keikhlasan yang luar biasa untuk beryadnya meskipun ketiadaan harta benda dan sarana prasarana. Bagi saya, mereka mengajarkan sesuatu yang tidak bisa diajarkan dengan hanya duduk di dalam kelas melihat white board yang dipenuhi dengan tulisan dari sang dosen, mereka mendidik saya tentang pelajaran hidup melalui indahnya persatuan dan semangat yang luar biasa untuk mempertahankan diri dari segala macam tantangan yang saya yakin sangat hebat yang harus mereka hadapi selama ini. Mereka adalah kumpulan penganut Dharma yang sudah mengalami ujian dan akan terus mengalami ujian, dan merekalah yang oleh Gede Prama disebut sebagai manusia yang selalu bertumbuh.
Terima kasih telah mengajarkan saya menjadi Hindu yang sesungguhnya.
I Wayan Agus Eka
Leave a Reply