Remunerasi dan Korupsi
Posted by I Wayan Agus Eka on March 30, 2010
Satu lagi kesalahan media dalam memberitakan kasus Gayus, atau mungkin memang sengaja dibuat salah supaya menggiring opini publik. Dalam salah satu beritanya Metro TV (gw ga takut nyebutin medianya) menyebutkan dengan gamblang bahwa “mewahnya remunerasi depkeu tidak mampu memberantas tindakan korupsi”.
Perlu dipahami bahwa remunerasi hanyalah salah satu bagian kecil dari tiga pilar reformasi birokrasi di Depkeu yaitu penataan organisasi, perbaikan proses bisnis dan perbaikan SDM. Meskipun demikian, remunerasi menjadi salah satu komponen yang sangat penting, kenapa??Penyebab korupsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, pertama corruption by need dan kedua corruption by greed. Seringkali seseorang melakukan tindakan korupsi didasari pada kebutuhannya, sering kita mendengar ada orang yang memeras karena didorong oleh kondisi bahwa anaknya yang membutuhkan uang untuk bersekolah atau istrinya yang memerlukan biaya pengobatan, nah korupsi jenis ini masuk ke dalam golongan pertama. Namun, tidak jarang juga ada orang yang kebutuhan dasarnya sudah mencukupi namun tetap melakukan tindakan korupsi yang didorong oleh nafsu serakah, korupsi jenis ini masuk ke dalam kelompok kedua.
Lalu dimanakah peranan remunerasi???remunerasi memang didesain untuk mengurangi tindakan korupsi terutama korupsi yang didorong keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Namun remunerasi tidak akan pernah mampu untuk menangani jenis korupsi yang didasari oleh nafsu serakah (greed) karena berapapun gaji yang diterima oleh pelaku korupsi jenis ini tidak akan pernah cukup karena didorong oleh ketamakan. Jadi, remunerasi tidak akan pernah bisa untuk menghilangkan korupsi secara keseluruhan namun remunerasi dapat mengurangi potensi korupsi terutama yang didasari oleh needs.
Trus, dimanakah salahnya pendapat media itu????bahasa yang digunakan oleh media tersebut salah karena menyamakan semua jenis tindakan korupsi. Remunerasi bukanlah obat paten yang akan mampu menyembuhkan semua jenis korupsi, obat ini hanya cocok terutama untuk tindakan korupsi yang didorong oleh kebutuhan bukan oleh keserakahan, karena pada prinsipnya pelaku korupsi jenis pertama tidak mempunyai mental korup karena semata-mata didorong oleh kebutuhan hidup dasar.
Bahasa media tersebut juga salah karena menggiring opini publik untuk menarik kesimpulan yang salah bahwa “karena korupsi masih terjadi maka sebaiknya remunerasi dicabut”. Penarikan kesimpulan ini salah karena apabila remunerasi dicabut maka penyakit korupsi yang pertama akan kambuh lagi. Kemudian pasti akan muncul pendapat, kan semua PNS punya kebutuhan lalu mengapa hanya depkeu yang melaksanakan remunerasi???memang, idealnya seluruh PNS menikmati gaji yang layak yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, namun Depkeu hanya pilot project untuk kebijakan ini mengingat keterbatasan keuangan negara. Logikanya, ketika pegawai depkeu sudah bekerja dengan baik dan jujur karena remunerasi, maka penerimaan dan pengelolaan keuangan negara juga akan naik dan semakin baik sehingga remunerasi untuk departemen lainnya akan segera menyusul di kemudian hari (bahasa lainnya : skala prioritas).
Salah satu prinsip media adalah cover both side, prinsip inilah yang diabaikan oleh media tersebut, mengapa???Remunerasi hanyalah satu sisi saja sementara di sisi lainnya ada yang namanya punishment, namun herannya pemberitaan media hanya menyoroti sisi remunerasinya saja tanpa membahas sisi punishmentnya padahal dua hal ini ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak akan pernah terpisah. Teori stick and carrot adalah teori yang mendasari remunerasi dan punishment. Orang yang sudah diberikan carrot yang cukup namun tetap membandel sudah selayaknya diberikan stick yang lebih keras dari sebelumnya dan hal inilah yang tidak pernah muncul dalam pemberitaan. Pernahkah media memberitakan bahwa remunerasi memberikan ancaman kartu kuning bagi pegawai yang telat maupun pulang cepat walaupun hanya sedetik dari jadwal seharusnya?pernahkah pula diberitakan berapa besar gaji kita yang harus dipotong jika tidak bekerja?pernahkah disadari bahwa setiap pegawai tanpa kecuali harus menandatangani kode etik? Karena media tidak menyadari hal ini lalu APA KATA DUNIA!!!!!
I Wayan Agus Eka
SKONO said
bener2 gak netral media, jd inget korlak di kantorku kena kartu kuning gr2 pas dicari kepala kantor gak ada..
Paidjo said
ah, itu kan deffense-nya penulis aja..kalopun remunerasi di cabut ya gak menjamin kalo penyakit pertama yg disebutkan penulis kambuh lagi, lagian-kan sekarang ada KPK, dan media serta masyarakat lebih kritis dalam melihat sesuatu.
teori stick & carrot hanya bersifat individu ato subjektif, dengan kata lain yg dirugikan ya individu itu sendiri.seperti halnya kartu kuning bagi pegawai yang telat maupun pulang cepat walaupun hanya sedetik dari jadwal seharusnya,ato pegawai yg tidak masuk kerja, itu kan yg dirugikan dia sendiri.
I Wayan Agus Eka said
@mas paidjo yang baik:
1) defense (“f”nya satu mas, bukan dua)????ehmm, boleh aja sih mas berpersepsi seperti itu, namun yang disajikan dalam tulisan ini adalah teori yang dirangkai dengan fakta bukan prasangka dan dugaan sehingga beberapa sudut pandang otomatis akan dihasilkan, ada yang melihatnya sebagai sebuah kajian seperti saya, dan ada juga yang melihatnya sebagai defense seperti mas paidjo dan itu sah-sah saja sepanjang tidak memaksakan kehendak.
2) memang mas, kalau remunerasi dicabut ga menjamin penyakit pertama kambuh, namun apakah mas dapat menjamin apabila remunerasi dicabut penyakit pertama tidak kambuh???mungkin mas akan menjawab ya perbaiki sistemnya donk, yang namanya sistem itu pasti akan ada celahnya apalagi kalau orang-orangnya saling bekerja sama. Dan saya yakin mereka akan lebih leluasa bekerja sama, karena orang yang korupsi atas dasar kebutuhan akan menyatu dengan orang yang memang serakah sehingga akan lebih sulit untuk melakukan deteksi karena mereka saling bekerja sama dan jangan lupa bahwa sistem yang sebaik apapun akan tetap jebol jika orang-orang di dalamnya berkolusi.
3) Justru karena stick and carrot itu bersifat individu maka dia sangat berpengaruh pada perilaku korup, korupsi kan tindakan individu mas, ga pernah kan kita dengar sebuah institusi dipidana karena korupsi, pasti individunya yang dihukum.
Paidjo said
mas I Wayan Agus Eka yg baik juga,
1. “f” nya lebih ya, ya udah saya ambil lagi ya “f” satunya. kebanyakan tanda “???”jg gak bagus lho mas. Dan saya tidak memaksakan kehendak saya kepada anda atau siapapun atas komentar saya sebelumya terhadap tulisan anda.
2. Ya, saya cukup menjamin hal tersebut, terlebih sekarang sudah ada KPK yg saya nilai sudah cukup kredibilitas dalam menangani kasus korupsi di negara kita. atau mas wayan merupakan salah satu orang yg tidak percaya terhadap KPK? (sorry, no prejudice), apalagi media dan masyarakat kita sudah semakin kritis terhadap yg namanya KKN..dari statement “mereka akan lebih leluasa bekerja sama” seberapa yakin mas Wayan hal tersebut?..sistem yg dibangun dan dijalankan dengan baik bisa menutupi celah seperti yg mas wayan utarakan.
3. saya setuju komentar anda terhadap teori stick and carrot bisa berpengaruh pada perilaku korupsi. namun statement tersebut tidak relevan dgn pernyataan saya sebelumnya dimana yg ingin saya tekankan adalah persepsi anda yg menganggap media tidak berpihak pada remunerasi. kalaupun anda menginginkan media memberitakan bahwa remunerasi memberikan ancaman kartu kuning bagi pegawai yang telat maupun pulang cepat walaupun hanya sedetik dari jadwal seharusnya, diberitakan berapa besar gaji yang harus dipotong jika tidak bekerja, dan secara sadar setiap pegawai tanpa kecuali harus menandatangani kode etik, justru kalau menurut saya yang akan dirugikan ya individu yg bersangkutan karena akan timbul persepsi baru atas penilaian “pegawai malas”, “kerja seenaknya”, dll. berbeda toh wacana yg kita bahas?
jabat erat,
sky said
Intinya begini aja :
ada atau tidak ada remunerasi tdk akan menjamin org itu korup tp dari pada ada remunerasi org akan tetap korup jg lebih baik remunerasi di hapuskan saja jd tdk ada negara yg dirugikan, “sayangkan mengeluarkan triliunan hanya utk bayar depkeu aja….”
I Wayan Agus Eka said
saya setuju bahwa remunerasi tidak dapat menjamin korupsi diberantas namun korupsi itu bermacam-macam mas sebabnya. Ada yang memang korup karena butuh makan, ada yang korup karena serakah, jadi menurut saya jangan digebyah uyah gitu, harus dipilah-pilah dulu sebabnya apa.. Salam damai..
I Wayan Agus Eka said
@mas Paidjo:
Saya orang bali mas, jadi panggil Bli saja, hahahah…
Meskipun kita berbeda pandangan saya sangat menghargai pendapat mas, terima kasih atas pendapatnya yang meskipun berbeda dengan saya telah mewarnai sikap masyarakat dalam menyikapi kasus ini. Namun bottom linenya saya yakin sama, bahwa kita berdua memiliki semangat yang sama untuk memperbaiki semua ini tentu dengan cara masing-masing sesuai dengan bidang yang kita tekuni.
Tetep mampir ke sini mas ya, tanggapan dan kritikannya selalu saya tunggu.
Suksma (baca:terima kasih).
Paidjo said
OK bli..SETUJU, saya tandai ya “bottom linenya saya yakin sama, bahwa kita berdua memiliki semangat yang sama untuk memperbaiki semua ini tentu dengan cara masing-masing sesuai dengan bidang yang kita tekuni”. itulah indahnya perbedaan karena memberikan warna lebih dalam hidup kita. tanggapan dan kritikan merupakan upaya untuk memajukan sesuatu.
O iya, selamat hari raya nyepi (walapun sudah lewat & kalau anda menjalankannya). jangankan mampir ke blog,kalo ke bali-pun saya mampir ke tempat bli (kalo dibolehin, hehehe).
jabat erat,
I Wayan Agus Eka said
Makasi mas atas ucapan nyepinya…Mampir ke rumah di Bali???siap dan, boleh kok..
bangpay said
Kayaknya memang sudah saatnya meninggalkan istilah Apa Kata Dunia… Untuk kita lebih belajar bertindak segala sesuatu dengan niat dan kesungguhan sejati bukan lantaran terlalu tergantung dengan respon dan persepsi berasal dari pihak lain…
Rco_aps said
Cm skdr curhat.. Memang saya akui sblm ada modernisasi kondisi internal djb sangat buruk atau jahiliyah, namun stlh remunerasi bnyk skali perubahan yg terjadi… Lha mslhny ktika ada kasus gayus n wacana remunerasi dicabut, bnyk tmen2 saya yg dulu tdk ikt2an jahiliyah skrg berkata ”wah kalo remunirasi dcbut kembali ke jahiliyah”..hayo ada yg bs menjelaskan fenomena ini??
preaxz said
Hmmm … tulisan Anda bagus, tulisan Anda tegas, tapi bagus dan tegasnya hanya bisa dimengerti oleh “orang dalam”. Orang awam, tentunya juga media kita yang memang awam dan kurang literatur, akan memahami renumerasi sebagai garansi. Dan jika kenyataannya seperti ini, tentunya masyarakat tidak bisa disalahkan untuk meminta pertanggung jawaban.
Contohnya, yang tentunya ada dalam pikiran awam yang paham, adalah begini? Buruh bisa mendapat hasil yang lumayan setelah membuktikan kinerja dan menghasilkan bagi pemberi kerja, bukan di beri upah yang besar baru lantas disuruh kerja. Jadi bagi mereka, menjadi pegawai Depkeu yang menerima renumerasi adalah sesuatu yang sangat Indah, belum membuktikan sudah diberikan kelebihan. Aneh kan?
Padahal, untuk menjadi bersih dan berkinerja maksimal adalah kewajiban pegawai Depkeu/DJP itu sendiri, ada atau tidak ada renumerasi, sebagai pelayan publik dan pengabdi republik. Suka atau tidak suka, seharusnya dengan gaji yang sama dengan perangkat desa pun harus tetap bersih dari korupsi. Logikanya, yang tidak suka, maka silakan keluar. Bukan begitu?
Jadi, membela diri dan mempertahankan renumerasi adalah sebetulnya tidak wajar dalam kacamata awam, apalagi pembelaan diri yang serta merta membawa argumentasi berupa aturan yang dibuat oleh Depkeu, sebagai penerima renumerasi.
Depkeu itu hebat, meski tidak sehebat Dewan, tapi mirip. Bikin aturan sendiri untuk dinikmati sendiri, itulah renumerasi, setali tiga uang dengan tunjangan anggota DPR yang semakin meninggi. Bisa diterima di depan hanya dengan janji, tanpa lebih dulu harus memberikan bukti.
gatot said
Yg pasti menurut saya intergritas karyawan pajak masih jelek sekali dan harus di benahi, karena karyawan pajak adalah pegawai negeri yg memiliki gaji tinggi tapi kejujuran nya masih di pertanyakan seperti gayus ” apa kata dunia kalau apbn 4,7T buat bayar renumurasi tikus2″
I Wayan Agus Eka said
@bangpay: ada usul istilah ga mas???heheh..
@Rco_aps: mungkin perlu ditanya ke mama lauren pak, hahahah….
@gatot: “4,7T buat bayar remunerasi tikus2??”buset dah, artinya saya termasuk tikus donk, gpp deh, resiko kerjaan, saya tetap berterima kasih. Ehmmm, kalau saya tikus artinya orang-orang yang menikmati APBN berupa kesehatan, pendidikan, transportasi, subsidi, “anak tikus” donk. Mas gatot tiap malem ngidupin lampu pastinya di rumahnya, jadi mas gatot ******* donk??hhehehe, just kidding pak, no offense..
I Wayan Agus Eka said
@preaxz: sebelumnya mau nanya dulu, yang anda maksud itu remunerasi kan? bukan renumerasi, karena setelah saya cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah renumerasi yang ada justru remunerasi. Tapi oke, saya berasumsi kita membahas hal yang sama.
Inti dari pendapat anda kurang lebih bahwa seharusnya kinerja ditingkatkan terlebih dahulu baru kemudian mendapatkan hak. Pendapat anda benar tapi adalah benar juga bahwa ada teori yang menyatakan hubungan yang sangat erat antara imbalan dan kinerja, bahwa kinerja seseorang akan sangat dipengaruhi oleh imbalan yang dia terima meskipun memang imbalan bukan faktor segalanya. Artinya, hal ini ibarat mana terlebih dahulu antara ayam dengan telur, pendapat anda menyatakan bahwa harusnya kinerja dulu baru imbalan, namun teori lainnya menunjukkan imbalan sebagai salah satu faktor kunci dari peningkatan kinerja, kalau sudah seperti ini maka tidak akan pernah ketemu ujungnya seperti apa karena keduanya sama-sama benar pada sisinya masing-masing.
Adalah sebuah kemunafikan (maaf saya tidak menemukan bahasa yang pas selain ini) kalau anda menafikan apa yang kami (depkeu, mudah2an saya bisa mewakili) lakukan setelah menerima remunerasi, seolah-olah kami ini terdiam dan tidak melakukan apa-apa setelah menikmati remunerasi ini. Remunerasi dan peningkatan kinerja di Depkeu berjalan beriringan dan sejalan, tidak ada yang lahir duluan dan tidak ada yang lahir belakangan.
Lalu apa kinerja DJP? Ukuran kinerja DJP utamanya dilihat dari penerimaan negara, tahun 2002 realisasi penerimaan pajak sebesar 210,1T, jumlah ini meningkat menjadi 491T pada tahun 2007 (bisa anda crosscheck dengan nota keuangan RI). Bayangkan saja hanya dalam waktu 5 tahun, penerimaan pajak meningkat lebih dari 100%, sebuah peningkatan yang menurut saya sangat langka di otoritas pajak dimanapun di dunia ini. Selain itu, saya akan mengutip kesimpulan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh seorang mahasiswa STAN bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara penerapan sistem administrasi perpajakan modern terhadap kepatuhan wajib pajak (Sofyan 2005, 178).
Survey sebuah lembaga independen memberikan nilai 81 untuk kepuasan wajib pajak di Indonesia, nilai ini bahkan melebihi australia (74), hongkong (71), dan singapura (76). Survei The World Group juga menaikkan peringkat pajak Indonesia dari 135 naik jadi 123.
Lalu, benarkah pendapat yang menyatakan DJP tidak berbenah?silakan dinilai sendiri.
Adi Pramudyo said
mau nimbrung masalah remunerasi, klo kita lihat mungkin lebih dari 10 grade remunerasi yang ada di dep keu dari eselon I sampai pegawai biasa, saya setuju klo itu untuk meningkatkan kinerja dari pegawai PNS, namun tolong juga pengawasan yang ketat dari inspektorat dep keu……artinya apakah setelah pns dep keu mendapatkan remunerasi , terus hasil kinerjanya menjadi baik….pada setiap dirjen…..klo belum terpaksa ditunda dulu pemberian dan di ganti ke dep lain
Remunerasi Kepada Tenaga Kesehatan said
[…] Terinspirasi dari tulisan teman lama saya tentang remunerasi dan korupsi […]