Gayus dan “knowledge blindness”
Posted by I Wayan Agus Eka on March 27, 2010
Satu lagi isu heboh muncul di tengah-tengah kita. Setelah gegap gempita century, kemudian aksi teroris, maka muncul fenomena markus pajak yang dihembuskan oleh mantan petinggi Polri. Gayus Tambunan menjadi “artis baru” yang namanya begitu akrab beberapa hari terakhir. Dia adalah seorang pegawai Ditjen Pajak yang memiliki harta kekayaan yang tidak sesuai dengan jabatan yang saat ini dia sandang dan diduga harta itu adalah hasil dari tindak kejahatan.
Isu kemudian meluas, dari hanya sekedar melibatkan kepolisian dan GT sebagai individu, kemudian berkembang melibatkan Ditjen Pajak sebagai sebuah institusi. Dari segi substansi isu kemudian beralih menjadi beberapa hal yang menurut saya di luar konteks substansi semula yang hendak diselidiki. Dari mahasiswa, tukang ojek, PRT, kaum intelektual berlomba-lomba memberikan pendapatnya, namun seringkali pendapat mereka hanya keluar dari mulut saja tanpa didasari oleh dasar intelektual yang memadai (baca:asbun). Setidaknya ada dua wacana dari orang-orang asbun ini yang coba saya sarikan. Pertama, mereka berargumen buat apa membayar pajak kalau nantinya dinikmati oleh Gayus dan pejabat-pejabat lainnya. Dan yang kedua, buat apa bayar pajak kalau jalan-jalan masih ada yang rusak, kalau pemerintah selalu jauh ketika ada bencana dll.
Saya bisa mengatakan bahwa, orang-orang yang melontarkan wacana pertama adalah orang-orang yang pikirannya sempit dan mungkin tidak pernah sekolah (kalaupun sekolah paling lulus dengan nyogok). Perlu diingat, WP membayar pajak bukan kepada petugas pajak, WP membayar pajak langsung ke kas negara. Yang diserahkan ke petugas pajak hanya bukti pembayarannya saja, jadi tidak akan pernah bisa seorang petugas pajak akan menilep duit WP yang nyata-nyata sudah masuk ke kas negara.
Korupsi di otoritas pajak manapun di belahan bumi ini umumnya hanya terjadi karena dua hal. Pertama karena adanya mekanisme supply and demand dan kedua karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang memiliki kuasa dalam bentuk pemerasan dll. Dalam kasus gayus, dugaan saya (sekali lagi saya hanya menduga saja) yang terjadi adalah kasus supply and demand, bukan kasus pemerasan karena kalau ini kasus pemerasan maka tentunya pihak yang diperas pasti sudah muncul di media saat ini, namun sampai sejauh ini tidak ada pihak yang mengaku diperas oleh pelaku. Mekanisme supply dan demand hanya akan terjadi apabila ada kesepakatan antara pihak yang menawarkan bantuan dengan pihak yang membutuhkan bantuan. Pihak yang membutuhkan bantuan tentunya berharap dapat membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya sementara pihak yang menawarkan bantuan berharap ada balas jasa atas bantuannya. Kalau hal seperti ini yang dimaksud oleh orang yang melontarkan wacana pertama, maka tidak hanya pihak yang menawarkan bantuan saja yang harus dipersalahkan namun juga pihak yang membutuhkan bantuan juga harus disalahkan karena memberi dan menerima suap sama-sama haram hukumnya.
Artinya, bagi WP yang memang tidak ada niat untuk menciptakan demand atau memang sejak semula beritikad baik untuk membayar pajak maka wacana pertama hanya omong kosong saja, karena uang yang mereka setor ke kas negara tidak akan mungkin dapat dikorupsi oleh petugas pajak. Sehingga, saya justru berkesimpulan sebaliknya bahwa orang yang melontarkan wacana pertama atau orang-orang yang setuju atas wacana ini sejatinya merupakan orang-orang yang memiliki niat untuk mengemplang pajak dengan menggunakan isu gayus sebagai justifikasi tindakannya, karena argumentasi wacana tersebut sangat lemah dan tidak mendasar.
Nah, bagaimana dengan wacana kedua???meskipun wacana ini memiliki keterkaitan dengan pajak namun sebenarnya wacana ini lebih terkait dengan mekanisme anggaran yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif. Setelah masuk ke kas negara maka pajak masuk ke dalam mekanisme APBN dan Ditjen Pajak sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung dalam mengalokasikan anggaran ini karena alokasi anggaran adalah kewenangan Pemerintah dan DPR. Jadi, bagi yang melontarkan wacana kedua ini sangat tidak tepat kalau mengalamatkan tuduhan kepada Ditjen Pajak atau Pemerintah saja, namun seharusnya juga mengalamatkan tuduhan kepada DPR. Sehingga, saya menjadi sangat terheran-heran ketika ada salah seorang anggota DPR (anggota Pansus pula) yang hanya diam saja dalam sebuah dialog di TV ketika seorang narasumber lainnya berteriak dengan semangat membara (tentu berotak kosong) bahwa dia menolak pajak karena masih ada jalanan rusak dan bla bla bla.
Tentunya kita semua harus menyadari, bahwa kebutuhan negara ini tidak hanya untuk memperbaiki jalanan dan dana bencana saja. Saya yakin orang-orang yang bersemangat memboikot pajak tentu menikmati listrik di rumahnya, tentu menggunakan bensin di kendaraannya, tentu menggunakan gas di dapurnya, tentu memiliki anak yang bersekolah dll. Namun apakah mereka menyadari darimana PLN mendapatkan uang untuk memproduksi listrik, darimana Pertamina mendapatkan uang untuk memproduksi bensin dan gas, dan darimana uang untuk mensubsidi pendidikan dalam bentuk BOS. Memang, kita harus mengakui bahwa tidak semua kebutuhan rakyat akan bisa terpenuhi oleh negara melalui mekanisme APBN saja karena memang yang namanya kebutuhan, apalagi menyangkut kebutuhan seluruh rakyat, pasti akan sulit (kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin) terpenuhi semuanya. Lupakah kita dengan kalimat awal saat kita belajar ekonomi bahwa ekonomi pada hakikatnya adalah ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan alat-alat pemenuhan yang bersifat terbatas. Dari kalimat itu saja kita sudah harus menyadari bahwa kebutuhan itu sifatnya tidak terbatas sementara APBN sebagai salah satu alat pemenuhannya pasti sifatnya terbatas, dengan menyadari ini apakah masih mungkin negara akan memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya??
Reaksi negatif sebagian masyarakat dari kasus gayus ini saya sebut sebagai knowledge blindness. Orang-orang yang bereaksi seperti ini sebenarnya orang yang buta pengetahuan. Kalau buta ini memang karena tidak pernah bersekolah mungkin kita bisa memakluminya, namun yang membuat prihatin adalah orang-orang ini buta karena memang tidak mau membuka matanya padahal matanya memiliki kemampuan untuk melihat yang sebenarnya. Termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang (termasuk di dalamnya oknum media) yang sebenarnya memiliki kemampuan akademis namun karena hatinya sudah diselimuti kebencian yang teramat sangat kepada pemerintah maka mereka memilih untuk menutup matanya dan berpura-pura buta namun dengan mulut yang tetap berkoar-koar seolah-olah tangannya memegang barang yang bernama kebenaran.
I Wayan Agus Eka
Rivi said
hebat temenku…
semoga yang benar akan trus menjadi sumber kehidupan kita..
dan sekalipun kita bukan seperti apa yang mereka pikirkan….
Putu Eka Sudiartha said
dan media turut andil dalam “knowledge blindness” ini…
parah memang, semua berita di TV sekarang sudah menggunakan metode infotaiment…
“terdepan mengaburkan”
ardiantaka said
Setuju sama pak putu eka, berita TV cenderung memperkruh keadaan. Mereka berlomba2 memvonis, padahal apakah mereka “bersih” pajaknya?
elegant said
kayak anda yg paling pintar n paling paham akan masalah ini…..kenyataannya banyak sekali pegawai pajak kita yg mempunyai harta tdk sesuai dgn pendapatannya….itu yg membuat orang untuk berteriak ttg ketidak adilan….sama dg teori ekonomi yg anda maksudkan tadi…setiap kita mengeluarkan biaya sekecil apapun pasti menginginkan keuntungan sebesar apapun…benahin dulu semua orang yg ada di dirjen pajak…masyarakat hanya berpikiran sebab akibat yg sederhana persis spt yg saudara dengar untuk apa membayar pajak kl untuk memperkaya org lain ( anda hrs melihat ketidak adilan dlm kalimat ini)….semoga anda tidak merasa oramg yang paling pintar n mengerti
fantubilog said
saya kira bukan asbun semata tanpa dasar pengetahuan.. informasi terbesar para ‘asbun’ ini berasal dari media, terutama media televisi.. semua informasi secara gamblang dan bertubi2 dipaparkan di sana..
menurut saya, alangkah baiknya anda mengajukan kebenaran ini kepada media yg ada agar mereka dpt menyampaikannya lebih proporsional .. dan rakyat kecil dan asbun ini bisa mendapatkan knowledge yg bener…
April said
Benar mas dan setuju harusnya sebelum mereka berbicara hendaknya didasarkan atas data dan fakta bukan omong kosong (asal ngomong ) .Hal itu sering terjadi pada anggota dewan kita mereka itu ngerti ato sok ngerti . Ini malah membuat persoalan tiada ujungnya malah membikin gaduh tanpa solusi
deden said
Salam kenal Mas Wayan. Keep on writing Mas. Pertempuran sekarang ada di dunia maya, tepatnya di media
gatot said
Gayus2 yg lain pasti masih banyak, nggak mungkin orang maling seperti gayus hanya satu di depart pajak, pasti banyak lah,kalau di biarkan banyak sekali uang seharus nya masuk kas negera di makan tikus2 seperti gayus, masyarakat bayar pajak susah2 tapi pajak yg besar2 seharusnya masuk kas negara di makan tikus2 seperti gayus, buat apa bayar pajak kalau masih banyak maling2 seperti gayus yg memperkaya diri sendiri . .
iwan kucay said
Bravo, media jg perlu pencerahan jgn jd alat politis, berikan keterangan yg sebenarnya u/ masyarakat indonesia yg hobi nonton sinetron ini
Piye_tho said
Malah udah muncul boikot media TV tuh..di FB..
Prasetya said
Hebat ….. mungkin memang begitu adanya, informasi yg disampaikan tidak seimbang dan sangat menyudutkan, media informasi-pun hanya tertarik nilai komersilnya saja, terima kasih Pak.
Semoga Tuhan membalas kebaikan bapak karena bapak sudah bersikap adil dalam masalah ini.
I Wayan Agus Eka said
@ardiantaka: ralat mas, nama saya wayan bukan putu, hehehe…but it’s ok, trimss
@elegant: maaf, saya tidak pernah merasa paling pintar ataupun paling bisa, tulisan ini adalah upaya saya untuk mengungkap sisi kedua dari sebuah isu dimana yang diangkat sekarang hanya satu sisi saja, sehingga kita semua mampu untuk mendapatkan penjernihan. Lagipula anda salah mengutip teori ekonomi yang saya pakai, anda justru mengutip prinsip ekonomi sementara di tulisan ini saya tidak mengutip prinsip ekonomi namun alasan mempelajari ekonomi. Salam penuh damai mas..
@fantubilog: yup, semoga tulisan ini menambah informasi itu mas. Terima kasih sudah berkunjung..
I Wayan Agus Eka said
@april: mari kita sama2 belajar supaya lebih “pintar”, heheh…trimss
@deden: salam kenal juga, trimss.
@gatot: “buat apa bayar pajak kalo masih ada maling seperti gayus??”ehmmm, sadis banget mas. sangat mungkin tidak hanya ada satu gayus, namun kalo tidak hanya ada satu “gatot” negara ini bubar pastinya, hehehe…
@piye_tho: silakan saja pak ada muncul boikot, mungkin itu wujud kekecewaan, sama dengan masyarakat yang membuat boikot pajak. Namun apapun reaksi sebagai wujud kekecewaan itu saya bisa memahami asalkan hanya sebatas wujud kekecewaaan saja bukan sebuah gerakan yang massive dan nyata karena bisa memperkeruh keadaan.
@prasetya: aminn, terima kasih mas..
SBY said
mantabs gan… seandainya seluruh anggora DPR seperti Anda, negeri ini akan sejahtera…
I Wayan Agus Eka said
@SBY: buset dah, ada pak SBY, nuwun sewu pak, hehehe…mudah-mudahan suatu hari nanti saya jadi anggota DPR, heheh…trimss mas..
SBY said
mudah2an bli Wayan ini bukan org pajak… saya lebih suka kalo yg nulis ini bukan org pajak, artinya secara umum masyarakan sdh mengerti pajak, tp kalo mas Wayan org pajak, jg gak papa, karena memang berita yang miring harus diluruskan … thanks tulisannya, ijin share ya…
I Wayan Agus Eka said
@SBY: yahhh, beruntungnya (bukan sayangnya) saya orang pajak mas, heheh…monggo silakan di share mas…
achmad amin said
Very good opinion yan…
Kita sebagai orang yang mempunyai intelektualitas seharusnya bisa mendudukkan permasalahan sesuai proporsinya.
Yang terjadi saat ini banyak orang yg tidak tau duduk permasalahan, tapi sok tau dan berkoar2. Dan anehnya…diliput media pula.
Jika ada yg menilai DJP belum berbenah…seharusnya mereka bisa membedakan DJP 5 tahun lalu dengan DJP yg sekarang.
Apakah hanya krn noda dari seorang gayus dikain putih…kita harus membakar kain itu?
Jika dibandingkan dengan lembaga DPR…DPR gajinya gede banget…tapi banyak anggota DPR yg tersangkut masalah korupsi. Akankah DPR juga diboikot dan dibubarkan karena ulah nakal segelintir anggotanya?
I Wayan Agus Eka said
@pak amin: wah, dosen pembimbingku sampe turun gunung nih, hehehe…semoga tulisan sederhana ini bisa sedikit menjernihkan air yang keruh, for the interest of Indonesian people…Terima kasih pak sudah mampir.
Lissa Lita said
pendapat sebagai rakyat ya…
saya sudah cukup mengerti kesulitan dari kalian orang2 departemen pajak dalam posisi kalian di pengumpulan pajak dan pandangan sinis rakyat…
Tapi jangan salahkan rakyat yang berpikiran “SOK TAU” seperti yang kalian katakan.
Rakyat Tidak salah, karena Kalian, DJP, ataupun DPR dan sejenisnya ada di kubu PEMERINTAHAN… dimana kubu kalian itu menyedot uang rakyat dalam bentuk pajak…
dan apakah rakyat salah kalau meminta pertanggung jawaban pada kalian para penghuni DJP, KEMANA AJA DUIT YANG KAMI SERAHKAN PADA KALIAN?
Walau kalian bilang itu bukan tanggung jawab DJP, tetap saja itu adalah tanggung jawab kalian sebagai bagian dari korps pegawai negeri…
Jangan cuci tangan lah… ikut tanggung jawab atas uang yang kami bayarkan.. kalau gak mau tanggung jawab dan tidak bisa menjawab kemana uang kami, ya jangan salahkan kalau rakyat banyak menghujat kalian…
Berkacalah.. bercerminlah…
Kenapa kalau hal yang baik2 selalu dikategorikan sebagai keberhasilan korps, tapi kalau ada yang mbalelo disebut OKNUM???
Gayus bagian dari korps kalian juga.. bukan sekedar oknum….
I Wayan Agus Eka said
@lissa lita: pajak itu direktorat jenderal mbak bukan departemen.
“tapi jangan salahkan rakyat yang berpikiran “SOK TAU” seperti yang kalian katakan.
Rakyat Tidak salah, karena Kalian, DJP, ataupun DPR dan sejenisnya ada di kubu PEMERINTAHAN… dimana kubu kalian itu menyedot uang rakyat dalam bentuk pajak”…loh kok kalimat ini menyalahkan pemungutan pajak. Ingat, pajak itu kontrak saya, anda dan kita semua sebagai warga negara yang tercantum dalam UUD, kalau memang uang mbak tidak mau disedot pajak ya putuskan saja kontraknya alias tidak usah berwarganegara Indonesia, seperti kata gus dur, gitu aja kok repot.
“dan apakah rakyat salah kalau meminta pertanggung jawaban pada kalian para penghuni DJP, KEMANA AJA DUIT YANG KAMI SERAHKAN PADA KALIAN?”…tidak salah mbak, memang itu harus dipertanggungjawabkan tapi harus diingat penggunaan pajak tidak seperti beli beras di pasar, anda serahin uang trus dapet berasnya tapi dengan cara tidak langsung melalui mekanisme APBN. Kalau anda mengatakan kemana aja duit yang anda serahkan maka jawaban saya “KEMANA AJA ANDA SELAMA INI???”apa anda tinggal di gua yang jauh dari pusat peradaban kota sehingga tidak menikmati aliran listrik (meskipun masih byar pet) atau jalan (meskipun masih tidak sempurna), ataukah anda berada jauh di kampung sehingga masih memakai kayu bakar, ataukah anda masih berada di pelosok pedalaman yang masih memakai kuda sebagai alat transportasi, atau mungkin anda tidak pernah sekolah karena berada jauh di pelosok. Kalau memang Anda berada di sana ya saya bisa memaklumi pernyataan anda yang mempertanyakan kemana aja pajak yang anda bayarkan.
“kalau gak mau tanggung jawab dan tidak bisa menjawab kemana uang kami, ya jangan salahkan kalau rakyat banyak menghujat kalian”..Oiii kemana aja selama ini, sejak kapan pemerintah ga pernah bikin pertanggungjawaban dan sejak kapan rakyat tidak tahu kemana uang mereka. Setiap tahun pemerintah membuat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan ini adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah di hadapan DPR sebagai REPRESENTASI RAKYAT, jadi rakyat “dianggap” sudah tahu dan menyetujui penggunaan uang pajak Anda melalui mekanisme di DPR. Kalaupun anda berkilah bahwa anda bukan anggota DPR ya boleh-boleh saja, namun Anda bisa kok membaca LKPP ini, cari aja di internet kemudian bacalah dengan seksama kemana saja duit anda itu disalurkan, kalau tidak puas buatlah surat kepada anggota dewan yang anda pilih pas pemilu kemarin maka suara anda ini pasti tersalurkan.
“Berkacalah.. bercerminlah…”setiap hari saya bercermin mbak, dan saya menjamin pemerintah (depkeu, DJP dll) pasti bercermin dari kasus ini supaya ada perbaikan di masa datang.
“Gayus bagian dari korps kalian juga.. bukan sekedar oknum….”yup benar, gayus bagian dari korps saya tapi untuk hal ini saya hanya berkomentar “belajarlah berempati”.
antimaling said
Hebat, hebat… sekali dan sangat ideal artikel yang disajikan diatas. Penulis menganggap bahwa reaksi masyarakat atas terjadinya kasus Gayus dibuat oleh orang-orang yang tidak mengerti, bodoh dan tidak pernah makan bangku sekolahan, dsb. Penulis memandang masalah ini hanya dari satu sisi saja yaitu dari pihak para petugas pajak sehingga apa yang terjadi sekarang ini yaitu mafia pajak hanya dilakukan oleh seorang Gayus saja. Semua orang tahu kalau pembayaran pajak itu langsung disetorkan ke bank sehingga tidak mungkin petugas pajak mengkorupsi uang yang disetorkan. Coba tolong penulis telaah lebih jauh bagaimana dengan para petugas pajak yang berperan juga sebagai konsultan pajak disuatu perusahaan. Sudah barang tentu mereka akan membantu merekayasa besaran pajak yang harus disetorkan agar bisa memperoleh imbalan jasa sebesar-besarnya. Laporan pajak perusahaan yang dibuat oleh orang pajak sendiri, sudah barang tentu tak akan bisa ditemukan suatu kesalahan apapun karena petugas yang bersangkutan yang mengurusnya kemudian saat dilaporkan. Kalau itu diibaratkan dalam ujian suatu mata pelajaran disekolah : Pengawas ujian membuat soal untuk para peserta ujian, tapi jawaban soal itu ditulis oleh pengawas itu dan yang memeriksa hasilnya juga dia sendiri. Dengan demikian sudah pasti semua akan mendapat nilai 100. Kalau penulis berprofesi sebagai petugas pajak, cobalah kemukakan secara jujur, katakan apa adanya bagaimana sih sebenarnya kelakuan sebagian besar petugas pajak. Memang hal itu akan berisiko berat, tapi demi kebenaran harus ada keberanian untuk itu. Mengatakan demikian karena saya sudah pernah mengalami sendiri di era 80an, saya damprat pimpinan saya habis-habisan, tidak peduli kalau salah kenapa harus diikuti kemauanya. Sampai sekarang saya masih tetap bersikat tegas menghadapi aparat yang tidak benar, termasuk sekali diantaranya dengan petugas pajak.
I Wayan Agus Eka said
@antimaling: wah sepertinya curhat ni boss!!!heheh, tp gpp lah, demi Indonesia yang lebih baik, tp pengalamannya sepertinya sudah kadaluarsa tuh era 80-an padahal menurut saya sudah banyak perubahan yang terjadi meskipun memang tidak bisa dinafikan bahwa kekurangan itu masih ada. Kalau memang Anda menemukan adanya pelanggaran, kelemahan atau apapun namanya kan sekarang sudah banyak kanal-kanal yang dapat menampungnya, bisa ke polisi, ombudsman, KPK, dll. Tapi kalau Anda memilih hanya menampungnya melalui kanal yang bernama blog saya ini, ya mungkin akan susah didengarnya dan ditindaklanjuti…
dewabenny said
Wow….keren gan…..
setubuh dengan tulisan di atas…. dimana2 adanya supply and Demand….
wayan redipa said
salam,
tulisannya mencerminkan bahwa anda pegawai pajak yang baru beberapa tahun saja menjadi korps salah satu kementrian dg semboyan “nagara dana raksa” yg unit direktorat jenderalnya bermoto :cakti, Budhi, Bakti…diabadikan sebagai nama jalan di sekitar pusdiklat perpajakan kemanggisan. silahkan cek…
beragam komentar yang terkadang sebagai ungkapan kekecewaan bisa dimaklumi dan harus diberikan pencerahan bahwa kekecewaan ini juga sebenarnya bisa dipulihkan. namun memulihkan citra djp yang berpuluh-puluh tahun seperti sosok seram berubah menjadi malaikat penyelamat roda pemerintahan memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa kan ???
mari, kita bersama-sama untuk membenahi diri. berikan pernyataan yang berlandaskan pengetahuan dan screening atas bombardir info media elektronik yang terkadang memang kurang proporsional.
maaf, pilihan katanya mungkin kurang bgitu tajam seperti penulis. newbie. keep on writing….sukses
I Wayan Agus Eka said
siap komandan, hehehe, suksma…
tukang parkir said
wala.. tulisane bagus mas, tapi cm dari satu sisi aja kayaknya (dr orang pajak mksdnya). saya tau kalo pajak untuk mbiayai APBN/APBD, cuma gara2 sampeyan tu dah lama jadi musuh masyarakat, suka ngurangi penghasilan rakyat gr2 pajek, ya dinikmati aja hujatannya.. rakyat sdh terlalu lama “ngiri” sama orang pajak, jadi kalo mau dihargai, buktikan dulu bahwa sampeyan benar dan “pantas” untuk dihargai