Bali for Sale
Posted by I Wayan Agus Eka on March 1, 2010
Masuklah ke link ini, maka anda akan menemui sebuah iklan tanah dijual di Bali. Mungkin terdengar sudah umum dan biasa, namun bagi saya cukup luar biasa tatkala mengetahui bahwa tanah yang diiklankan tadi terletak di salah satu sudut desa tanah kelahiran saya. Ketika saya masih SD boleh dibilang seluruh tanah di kampung saya masih dimiliki penduduk pribumi, namun lambat laun satu persatu lahan di sana dibeli oleh orang asing dengan perantara orang lokal.
Tanah yang sangat laku adalah tanah di tepian timur sungai Petanu yang topografinya berupa tebing dengan keterjalan bervariasi. Pembeli sangat meminati karena menyajikan pemandangan yang cukup indah dengan aliran sungai di bawahnya dan hamparan ilalang di tebing seberang sungai. Penduduk desa yang memiliki tanah ini sangat tergiur dengan uang ratusan juta yang bisa didapatkannya dalam waktu singkat tanpa harus bekerja keras.
Cerita di kampung saya sangat mungkin terjadi (bahkan sudah terjadi) di belahan desa lainnya di Bali. Perkembangan dan pertumbuhan pariwisata membutuhkan lahan ekspansi yang semakin meningkat. Pertumbuhan pariwisata yang digadang-gadang menjadi obat kemakmuran masyarakat Bali harus mengorbankan lahan-lahan pertanian yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat Bali. Celakanya lagi, pembeli lahan tadi sebagian besar adalah masyarakat luar daerah bahkan turis asing dengan memanfaatkan calo-calo lokal.
Apakah kepemilikan “asing” ini salah??mungkin kalau menggunakan parameter di luar daerah selain Bali hal ini tidaklah salah, namun untuk di Bali kepemilikan “asing” ini menjadi salah satu penyebab pergeseran budaya Bali. Saya meyakini bahwa generasi kakek/nenek kita sebagian besar pasti mayoritas petani/penggarap lahan, namun lihatlah generasi orang tua kita dan generasi kita sendiri, berapa banyak dari mereka yang meneruskan profesi orang tuanya dan mungkin di dalamnya termasuk saya sendiri. Lahan yang dimiliki “asing” ini pada umumnya dijadikan sarana pariwisata, entah itu hotel, restoran, villa dll, yang tentunya akan membuka jenis lapangan pekerjaan baru yang lebih menarik dari sekadar berkubang dengan lumpur persawahan.
Pengalihan kepemilikan lahan ini juga menjadi salah satu sumber konflik horizontal di Bali. Saya menyaksikan sendiri bagaimana sebuah keluarga terpecah gara-gara pembagian hasil penjualan lahan yang tidak adil, bagaimana sebuah keluarga yang masih satu “natah” tidak pernah bertegur sapa bahkan ironis ketika ada yang menempuh jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
Saya sangat percaya bahwa tanah adalah benteng terakhir sebuah kebudayaan, sebuah benteng yang lahan di dalamnya berfungsi sebagai ruang-ruang bagi kebudayaan untuk sekedar bertahan apabila hanya tumbuh saja sangat susah. Tanah memungkinkan insan-insan di dalamnya untuk mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya tanpa harus memikirkan orang-orang di luar. Namun ketika tanah ini dimiliki pihak luar maka seketika itu juga robohlah benteng tersebut, ruang ekspresipun akan menjadi lebih terbatas dan lebih sempit. Dan ketika itu terjadi apakah kita masih akan membanggakan diri sebagai suku yang berbudaya.
Pertumbuhan pariwisata hendaknya tidak menjadi dalih untuk membenarkan aksi alih lahan ini, karena bagaimanapun juga Bali memiliki batas kemampuan untuk menampung pertumbuhan tersebut. Mungkin saatnya kita sejenak mengatakan “cukup” terhadap hegemoni pariwisata ini karena kata cukup akan memberikan waktu untuk menjernihkan pandangan kita mengenai kondisi Bali sekarang dan bagaimana kita mengelolanya di masa datang. Selayaknya manusia yang mempunyai batas kemampuan maka begitu pulalah pulau tercinta ini, sehingga pemaksaan yang bernama “pertumbuhan ekonomi/pertumbuhan pariwisata dll” hanya akan memeras keringat Bali saja sehingga suatu saat bukan lagi keringat yang akan keluar tapi darah. Semoga ini tidak terjadi, Awighnam Astu.
agus said
nice post bli…
pariwisata seperti pisau bermata dua jika tidak dikelola dengan baik,
mungkin agrowisata bisa menjadi alternatifnya jika disesuaikan dengan pertanian di Bali