Satu lagi kesalahan media dalam memberitakan kasus Gayus, atau mungkin memang sengaja dibuat salah supaya menggiring opini publik. Dalam salah satu beritanya Metro TV (gw ga takut nyebutin medianya) menyebutkan dengan gamblang bahwa “mewahnya remunerasi depkeu tidak mampu memberantas tindakan korupsi”.
Perlu dipahami bahwa remunerasi hanyalah salah satu bagian kecil dari tiga pilar reformasi birokrasi di Depkeu yaitu penataan organisasi, perbaikan proses bisnis dan perbaikan SDM. Meskipun demikian, remunerasi menjadi salah satu komponen yang sangat penting, kenapa??Penyebab korupsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, pertama corruption by need dan kedua corruption by greed. Seringkali seseorang melakukan tindakan korupsi didasari pada kebutuhannya, sering kita mendengar ada orang yang memeras karena didorong oleh kondisi bahwa anaknya yang membutuhkan uang untuk bersekolah atau istrinya yang memerlukan biaya pengobatan, nah korupsi jenis ini masuk ke dalam golongan pertama. Namun, tidak jarang juga ada orang yang kebutuhan dasarnya sudah mencukupi namun tetap melakukan tindakan korupsi yang didorong oleh nafsu serakah, korupsi jenis ini masuk ke dalam kelompok kedua.
Lalu dimanakah peranan remunerasi???remunerasi memang didesain untuk mengurangi tindakan korupsi terutama korupsi yang didorong keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Namun remunerasi tidak akan pernah mampu untuk menangani jenis korupsi yang didasari oleh nafsu serakah (greed) karena berapapun gaji yang diterima oleh pelaku korupsi jenis ini tidak akan pernah cukup karena didorong oleh ketamakan. Jadi, remunerasi tidak akan pernah bisa untuk menghilangkan korupsi secara keseluruhan namun remunerasi dapat mengurangi potensi korupsi terutama yang didasari oleh needs.
Trus, dimanakah salahnya pendapat media itu????bahasa yang digunakan oleh media tersebut salah karena menyamakan semua jenis tindakan korupsi. Remunerasi bukanlah obat paten yang akan mampu menyembuhkan semua jenis korupsi, obat ini hanya cocok terutama untuk tindakan korupsi yang didorong oleh kebutuhan bukan oleh keserakahan, karena pada prinsipnya pelaku korupsi jenis pertama tidak mempunyai mental korup karena semata-mata didorong oleh kebutuhan hidup dasar.
Bahasa media tersebut juga salah karena menggiring opini publik untuk menarik kesimpulan yang salah bahwa “karena korupsi masih terjadi maka sebaiknya remunerasi dicabut”. Penarikan kesimpulan ini salah karena apabila remunerasi dicabut maka penyakit korupsi yang pertama akan kambuh lagi. Kemudian pasti akan muncul pendapat, kan semua PNS punya kebutuhan lalu mengapa hanya depkeu yang melaksanakan remunerasi???memang, idealnya seluruh PNS menikmati gaji yang layak yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, namun Depkeu hanya pilot project untuk kebijakan ini mengingat keterbatasan keuangan negara. Logikanya, ketika pegawai depkeu sudah bekerja dengan baik dan jujur karena remunerasi, maka penerimaan dan pengelolaan keuangan negara juga akan naik dan semakin baik sehingga remunerasi untuk departemen lainnya akan segera menyusul di kemudian hari (bahasa lainnya : skala prioritas).
Salah satu prinsip media adalah cover both side, prinsip inilah yang diabaikan oleh media tersebut, mengapa???Remunerasi hanyalah satu sisi saja sementara di sisi lainnya ada yang namanya punishment, namun herannya pemberitaan media hanya menyoroti sisi remunerasinya saja tanpa membahas sisi punishmentnya padahal dua hal ini ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak akan pernah terpisah. Teori stick and carrot adalah teori yang mendasari remunerasi dan punishment. Orang yang sudah diberikan carrot yang cukup namun tetap membandel sudah selayaknya diberikan stick yang lebih keras dari sebelumnya dan hal inilah yang tidak pernah muncul dalam pemberitaan. Pernahkah media memberitakan bahwa remunerasi memberikan ancaman kartu kuning bagi pegawai yang telat maupun pulang cepat walaupun hanya sedetik dari jadwal seharusnya?pernahkah pula diberitakan berapa besar gaji kita yang harus dipotong jika tidak bekerja?pernahkah disadari bahwa setiap pegawai tanpa kecuali harus menandatangani kode etik? Karena media tidak menyadari hal ini lalu APA KATA DUNIA!!!!!
I Wayan Agus Eka