DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Archive for March, 2010

Remunerasi dan Korupsi

Posted by I Wayan Agus Eka on March 30, 2010

Satu lagi kesalahan media dalam memberitakan kasus Gayus, atau mungkin memang sengaja dibuat salah supaya menggiring opini publik. Dalam salah satu beritanya Metro TV (gw ga takut nyebutin medianya) menyebutkan dengan gamblang bahwa “mewahnya remunerasi depkeu tidak mampu memberantas tindakan korupsi”.

Perlu dipahami bahwa remunerasi hanyalah salah satu bagian kecil dari tiga pilar reformasi birokrasi di Depkeu yaitu penataan organisasi, perbaikan proses bisnis dan perbaikan SDM. Meskipun demikian, remunerasi menjadi salah satu komponen yang sangat penting, kenapa??Penyebab korupsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, pertama corruption by need dan kedua corruption by greed. Seringkali seseorang melakukan tindakan korupsi didasari pada kebutuhannya, sering kita mendengar ada orang yang memeras karena didorong oleh kondisi bahwa anaknya yang membutuhkan uang untuk bersekolah atau istrinya yang memerlukan biaya pengobatan, nah korupsi jenis ini masuk ke dalam golongan pertama. Namun, tidak jarang juga ada orang yang kebutuhan dasarnya sudah mencukupi namun tetap melakukan tindakan korupsi yang didorong oleh nafsu serakah, korupsi jenis ini masuk ke dalam kelompok kedua.

Lalu dimanakah peranan remunerasi???remunerasi memang didesain untuk mengurangi tindakan korupsi terutama korupsi yang didorong keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Namun remunerasi tidak akan pernah mampu untuk menangani jenis korupsi yang didasari oleh nafsu serakah (greed) karena berapapun gaji yang diterima oleh pelaku korupsi jenis ini tidak akan pernah cukup karena didorong oleh ketamakan. Jadi, remunerasi tidak akan pernah bisa untuk menghilangkan korupsi secara keseluruhan namun remunerasi dapat mengurangi potensi korupsi terutama yang didasari oleh needs.

Trus, dimanakah salahnya pendapat media itu????bahasa yang digunakan oleh media tersebut salah karena menyamakan semua jenis tindakan korupsi. Remunerasi bukanlah obat paten yang akan mampu menyembuhkan semua jenis korupsi, obat ini hanya cocok terutama untuk tindakan korupsi yang didorong oleh kebutuhan bukan oleh keserakahan, karena pada prinsipnya pelaku korupsi jenis pertama tidak mempunyai mental korup karena semata-mata didorong oleh kebutuhan hidup dasar.

Bahasa media tersebut juga salah karena menggiring opini publik untuk menarik kesimpulan yang salah bahwa “karena korupsi masih terjadi maka sebaiknya remunerasi dicabut”. Penarikan kesimpulan ini salah karena apabila remunerasi dicabut maka penyakit korupsi yang pertama akan kambuh lagi. Kemudian pasti akan muncul pendapat, kan semua PNS punya kebutuhan lalu mengapa hanya depkeu yang melaksanakan remunerasi???memang, idealnya seluruh PNS menikmati gaji yang layak yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, namun Depkeu hanya pilot project untuk kebijakan ini mengingat keterbatasan keuangan negara. Logikanya, ketika pegawai depkeu sudah bekerja dengan baik dan jujur karena remunerasi, maka penerimaan dan pengelolaan keuangan negara juga akan naik dan semakin baik sehingga remunerasi untuk departemen lainnya akan segera menyusul di kemudian hari (bahasa lainnya : skala prioritas).

Salah satu prinsip media adalah cover both side, prinsip inilah yang diabaikan oleh media tersebut, mengapa???Remunerasi hanyalah satu sisi saja sementara di sisi lainnya ada yang namanya punishment, namun herannya pemberitaan media hanya menyoroti sisi remunerasinya saja tanpa membahas sisi punishmentnya padahal dua hal ini ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak akan pernah terpisah. Teori stick and carrot adalah teori yang mendasari remunerasi dan punishment. Orang yang sudah diberikan carrot yang cukup namun tetap membandel sudah selayaknya diberikan stick yang lebih keras dari sebelumnya dan hal inilah yang tidak pernah muncul dalam pemberitaan. Pernahkah media memberitakan bahwa remunerasi memberikan ancaman kartu kuning bagi pegawai yang telat maupun pulang cepat walaupun hanya sedetik dari jadwal seharusnya?pernahkah pula diberitakan berapa besar gaji kita yang harus dipotong jika tidak bekerja?pernahkah disadari bahwa setiap pegawai tanpa kecuali harus menandatangani kode etik? Karena media tidak menyadari hal ini lalu APA KATA DUNIA!!!!!

I Wayan Agus Eka

Advertisement

Posted in Daily Notes | Tagged: , | 17 Comments »

Gayus dan “knowledge blindness”

Posted by I Wayan Agus Eka on March 27, 2010

Satu lagi isu heboh muncul di tengah-tengah kita. Setelah gegap gempita century, kemudian aksi teroris, maka muncul fenomena markus pajak yang dihembuskan oleh mantan petinggi Polri. Gayus Tambunan menjadi “artis baru” yang namanya begitu akrab beberapa hari terakhir. Dia adalah seorang pegawai Ditjen Pajak yang memiliki harta kekayaan yang tidak sesuai dengan jabatan yang saat ini dia sandang dan diduga harta itu adalah hasil dari tindak kejahatan.

Isu kemudian meluas, dari hanya sekedar melibatkan kepolisian dan GT sebagai individu, kemudian berkembang melibatkan Ditjen Pajak sebagai sebuah institusi. Dari segi substansi isu kemudian beralih menjadi beberapa hal yang menurut saya di luar konteks substansi semula yang hendak diselidiki. Dari mahasiswa, tukang ojek, PRT, kaum intelektual berlomba-lomba memberikan pendapatnya, namun seringkali pendapat mereka hanya keluar dari mulut saja tanpa didasari oleh dasar intelektual yang memadai (baca:asbun). Setidaknya ada dua wacana dari orang-orang asbun ini yang coba saya sarikan. Pertama, mereka berargumen buat apa membayar pajak kalau nantinya dinikmati oleh Gayus dan pejabat-pejabat lainnya. Dan yang kedua, buat apa bayar pajak kalau jalan-jalan masih ada yang rusak, kalau pemerintah selalu jauh ketika ada bencana dll.

Saya bisa mengatakan bahwa, orang-orang yang melontarkan wacana pertama adalah orang-orang yang pikirannya sempit dan mungkin tidak pernah sekolah (kalaupun sekolah paling lulus dengan nyogok). Perlu diingat, WP membayar pajak bukan kepada petugas pajak, WP membayar pajak langsung ke kas negara. Yang diserahkan ke petugas pajak hanya bukti pembayarannya saja, jadi tidak akan pernah bisa seorang petugas pajak akan menilep duit WP yang nyata-nyata sudah masuk ke kas negara.

Korupsi di otoritas pajak manapun di belahan bumi ini umumnya hanya terjadi karena dua hal. Pertama karena adanya mekanisme supply and demand dan kedua karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang memiliki kuasa dalam bentuk pemerasan dll. Dalam kasus gayus, dugaan saya (sekali lagi saya hanya menduga saja) yang terjadi adalah kasus supply and demand, bukan kasus pemerasan karena kalau ini kasus pemerasan maka tentunya pihak yang diperas pasti sudah muncul di media saat ini, namun sampai sejauh ini tidak ada pihak yang mengaku diperas oleh pelaku. Mekanisme supply dan demand hanya akan terjadi apabila ada kesepakatan antara pihak yang menawarkan bantuan dengan pihak yang membutuhkan bantuan. Pihak yang membutuhkan bantuan tentunya berharap dapat membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya sementara pihak yang menawarkan bantuan berharap ada balas jasa atas bantuannya. Kalau hal seperti ini yang dimaksud oleh orang yang melontarkan wacana pertama, maka tidak hanya pihak yang menawarkan bantuan saja yang harus dipersalahkan namun juga pihak yang membutuhkan bantuan juga harus disalahkan karena memberi dan menerima suap sama-sama haram hukumnya.

Artinya, bagi WP yang memang tidak ada niat untuk menciptakan demand atau memang sejak semula beritikad baik untuk membayar pajak maka wacana pertama hanya omong kosong saja, karena uang yang mereka setor ke kas negara tidak akan mungkin dapat dikorupsi oleh petugas pajak. Sehingga, saya justru berkesimpulan sebaliknya bahwa orang yang melontarkan wacana pertama atau orang-orang yang setuju atas wacana ini sejatinya merupakan orang-orang yang memiliki niat untuk mengemplang pajak dengan menggunakan isu gayus sebagai justifikasi tindakannya, karena argumentasi wacana tersebut sangat lemah dan tidak mendasar.

Nah, bagaimana dengan wacana kedua???meskipun wacana ini memiliki keterkaitan dengan pajak namun sebenarnya wacana ini lebih terkait dengan mekanisme anggaran yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif. Setelah masuk ke kas negara maka pajak masuk ke dalam mekanisme APBN dan Ditjen Pajak sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung dalam mengalokasikan anggaran ini karena alokasi anggaran adalah kewenangan Pemerintah dan DPR. Jadi, bagi yang melontarkan wacana kedua ini sangat tidak tepat kalau mengalamatkan tuduhan kepada Ditjen Pajak atau Pemerintah saja, namun seharusnya juga mengalamatkan tuduhan kepada DPR. Sehingga, saya menjadi sangat terheran-heran ketika ada salah seorang anggota DPR (anggota Pansus pula) yang hanya diam saja dalam sebuah dialog di TV ketika seorang narasumber lainnya berteriak dengan semangat membara (tentu berotak kosong) bahwa dia menolak pajak karena masih ada jalanan rusak dan bla bla bla.

Tentunya kita semua harus menyadari, bahwa kebutuhan negara ini tidak hanya untuk memperbaiki jalanan dan dana bencana saja. Saya yakin orang-orang yang bersemangat memboikot pajak tentu menikmati listrik di rumahnya, tentu menggunakan bensin di kendaraannya, tentu menggunakan gas di dapurnya, tentu memiliki anak yang bersekolah dll. Namun apakah mereka menyadari darimana PLN mendapatkan uang untuk memproduksi listrik, darimana Pertamina mendapatkan uang untuk memproduksi bensin dan gas, dan darimana uang untuk mensubsidi pendidikan dalam bentuk BOS. Memang, kita harus mengakui bahwa tidak semua kebutuhan rakyat akan bisa terpenuhi oleh negara melalui mekanisme APBN  saja karena memang yang namanya kebutuhan, apalagi menyangkut kebutuhan seluruh rakyat, pasti akan sulit (kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin) terpenuhi semuanya. Lupakah kita dengan kalimat awal saat kita belajar ekonomi bahwa ekonomi pada hakikatnya adalah ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan alat-alat pemenuhan yang bersifat terbatas. Dari kalimat itu saja kita sudah harus menyadari bahwa kebutuhan itu sifatnya tidak terbatas sementara APBN sebagai salah satu alat pemenuhannya pasti sifatnya terbatas, dengan menyadari ini apakah masih mungkin negara akan memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya??

Reaksi negatif sebagian masyarakat dari kasus gayus ini saya sebut sebagai knowledge blindness. Orang-orang yang bereaksi seperti ini sebenarnya orang yang buta pengetahuan. Kalau buta ini memang karena tidak pernah bersekolah mungkin kita bisa memakluminya, namun yang membuat prihatin adalah orang-orang ini buta karena memang tidak mau membuka matanya padahal matanya memiliki kemampuan untuk melihat yang sebenarnya. Termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang (termasuk di dalamnya oknum media) yang sebenarnya memiliki kemampuan akademis namun karena hatinya sudah diselimuti kebencian yang teramat sangat kepada pemerintah maka mereka memilih untuk menutup matanya dan berpura-pura buta namun dengan mulut yang tetap berkoar-koar seolah-olah tangannya memegang barang yang bernama kebenaran.

I Wayan Agus Eka

Posted in Daily Notes | 27 Comments »

“terima kasih” Ibnu

Posted by I Wayan Agus Eka on March 22, 2010

Mohon jangan salah paham atas judul tulisan ini. Saya hanya berusaha memandang kasus ini dari sisi lain. Sebagai pemeluk Dharma, saya sangat sedih, marah, kesal atas tulisan Ibnu ini. Ingin rasanya bertemu orang ini secara langsung dan menghadiahinya kata-kata yang setara dengan apa yang diucapkannya.

Namun pernahkah kita memandang kasus ini sebagai sebuah “soal ujian”???soal ujian yang tentunya harus dijawab segera karena akan menentukan kelulusan kita nantinya, ibarat seorang anak  SMA yang sedang mengikuti Ujian Nasional. Ibnu datang pada saat yang sangat “tepat”, dia dan komentarnya muncul saat saya dan saudara sedharma melaksanakan hari suci kami. Saya berusaha berpikir positif bahwa dia adalah ujian bagi saya dalam melaksanakan brata penyepian.

Inti brata penyepian adalah pengendalian dan penguasaan diri, secara fisik kita terkekang oleh aturan-aturan yang dibuat agama namun sadarkah kita kalau yang sebenarnya harus dikekang adalah pikiran kita, karena dari pikiranlah akan muncul perkataan dan selanjutnya perbuatan. Mengutip Gede Prama, seandainya manusia dipenjara di gua terdalam pun, pikirannya masih bisa lari kemana-mana.

Setelah kita melaksanakan brata penyepian maka kita diharapkan memiliki pikiran yang bersih untuk menapaki tahun yang baru. Umumnya kita beranggapan bahwa dengan tidak makan, tidak minum, tidak bepergian, tidak menyalakan lampu (api) dll kita sudah melewati ujian perayaan Nyepi. Namun semuanya itu bukanlah ujian yang sesungguhnya, karena ujian yang sebenarnya baru dimulai setelah perayaan Nyepi itu sendiri dan Ibnu datang tepat setelah saya dan umat sedharma melaksanakan Nyepi.

Ibnu membawa “selembar soal ujian” yang harus saya jawab dengan pengetahuan dan bekal yang saya peroleh dari “diklat sehari” selama Nyepi. Pengetahuan itu saya gunakan untuk menjawab pertanyaan Ibnu. Ibarat pelajar, kalau mau naik kelas tentunya harus melewati ujian, bedanya kelas dan ujian dari si Ibnu ini bernama kelas dan ujian kehidupan. Ada yang menjawab soal ujian itu dengan bahasa yang serupa dengan bahasa si Ibnu (baca: menghujat, memaki, menghina dll) namun tidak sedikit juga yang berusaha memandangnya dengan bijak dan tetap santun.

Apakah yang menghujat itu salah??dan apakah yang santun itu benar??saya tidak berani memutuskan, karena bahasa kebenaran bukan monopoli saya. Namun di mata saya (sekali lagi ini adalah kebenaran versi saya), jawaban saudara-saudara saya mencerminkan tingkat penguasaan diri yang menjadi inti dari Nyepi itu sendiri.

Saya berterima kasih ke Ibnu bukan karena setuju dia menghina hari suci saya, tapi saya berterima kasih karena dia mengantarkan “soal ujian” sehingga saya bisa ikut ujian dan mudah-mudahan diluluskan oleh-Nya sehingga saya bisa naik kelas. Seketika saya mengetahui kasus ini saya langsung bergabung dengan grup yang menuntut Ibnu diusir, namun seketika itu juga saya memutuskan keluar dari grup ini dan lebih memilih untuk bergabung ke grup yang memaafkan tindakannya, mudah-mudahan jawaban “soal ujian” ini benar di mataNya, Awighnam Astu….

I Wayan Agus Eka

Posted in Daily Notes | 4 Comments »

Renungan Nyepi: Matikan Jasadmu Maka Terhidupkanlah Jiwamu

Posted by I Wayan Agus Eka on March 12, 2010

Apa yang terlintas ketika kita mendengar kalimat di atas. Mungkin setiap orang akan memiliki persepsi yang berbeda-beda akan kalimat itu.

Sebelum kita melangkah ke pengertian sesungguhnya, mungkin lebih baik kita mencermati satu persatu bagian dari kalimat itu. Jasad yang dimaksud disini memiliki arti yang luas, jasad ini tidak hanya berarti badan kita tetapi juga segala sesuatu yang terikat dengan badan kita, apakah itu???tidak lain adalah sifat-sifat sebagai seorang manusia. Manusia memiliki sifat baik, buruk, nafsu, amarah, cinta, dengki, iri dll. Kemudian jiwa yang dimaksud di sini adalah Tuhan yang berada dalam setiap umat manusia. Meminjam istilah Gede Prama, di dalam diri manusia terdapat pura-pura yang di dalamnya bersemayam Tuhan itu sendiri.

Jadi arti dari istilah matikan jasadmu maka terhidupkanlah jiwamu itu adalah matikanlah semua sifatmu yang terikat dengan badan jasmanimu karena pada saat kondisi itulah engkau akan menemukan diri yang sejati yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Badan jasmani beserta sifat-sifat yang terikat ini bagaikan lumpur yang menghalangi seorang nelayan ketika mencari ikan, bagaikan awan hitam yang menghalangi terangnya sinar matahari, maka singkirkanlah lumpur dan awan itu dan engkaupun akan melihat ikan dan matahari dalam kejernihan hati.

Ketika kita mampu mematikan jasad ini maka bagaikan seseorang yang sedang berada dalam suatu lorong yang sangat gelap yang dengan ketekunan dan tekadnya mampu melihat setitik cahaya di ujung jalan, cahaya inilah yang disebut dengan Dharma, cahaya inilah yang merupakan tujuan dari kehidupan ini.

Lalu bagaimanakah caranya mematikan jasad ini. Agama mengajarkan kita untuk melakukan tapa, brata, yoga, semadi. Cara-cara inilah yang harus dilakukan manusia agar mampu mematikan nafsu dalam dirinya sendiri. Lalu sebatas mana kita harus melakukan cara-cara ini??kembali lagi ke sifat ajaran agama Hindu yang tidak mengenal pemaksaan, ibarat seorang anak SD janganlah dijejali dengan pelajaran SMA begitu pula sebaliknya, seseorang yang sudah SMA janganlah mengambil pelajaran untuk anak SD kembali. Tujuannya apa???untuk mencapai apa yang disebut dengan kondisi NOL, lepas dari pengaruh dualisme, rwa bhinneda, selalu netral dalam menghadapi sesuatu. Lepas dari ikatan duniawi yang disebut istri, harta, anak, kedudukan, jabatan dan lain-lain.

Sebagai contoh saya akan mengambil kisah dari cerita Mahabarata

Panca Pandawa merupakan symbol dari lima sifat manusia. Yudistira disimbolkan sebagai sifat satwam (ibu jari), Bima dengan sifat Krodha (Telunjuk), Arjuna dengan sifat Kama/birahi (jari tengah), Nakula dengan sifat Tamak/loba (jari manis) dan Sadewa dengan sifat irihati/matsarya (kelingking).

Kisah mahabarata mengajarkan kepada kita bagaimana cara mengendalikan nafsu manusia kemudian dilahirkan kembali sebagai pribadi yang suci dan bersih.

Semuanya berawal dari perjudian yang sudah diskenariokan sedemikian rupa. Akhirnya Pandawa beserta drupadi harus kehilangan kerajaannya dan dibuang ke hutan selama 12 tahun dan pada tahun ke 13 harus menyamar, dan seandainya pada tahun ke 13 samarannya terbongkar maka harus kembali lagi menjalani 12 tahun di hutan.

Nah, waktu 12 tahun inilah merupakan proses mematikan jasad dari Pandawa tersebut. Mulai dari Arjuna yang harus bertapa ke gunung Indrakila untuk memperoleh senjata dimana kemudian dia bertempur dengan Dewa Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Kemudian ketika Yudistira harus melupakan dendamnya untuk sesaat ketika rombongan Duryodana diserang oleh sekawanan raksasa yang ingin membunuhnya ketika Duryodana menginap di peternakan yang dekat dengan perkemahan pandawa.

Puncak dari ujian itu adalah pada akhir masa pengasingan yaitu pada tahun ke-12. Berawal ketika pedupaan seorang brahmana tersangkut pada tanduk seekor menjangan dan kemudian Pandawa mengejar menjangan tersebut beramai-ramai. Dan kemudian sampailah mereka di hutan. Karena kehausan Nakula kemudian memanjat pohon yang tinggi dan kemudian melihat ada tanaman air yang artinya di dekat sana terdapat telaga. Bergegaslah kemudian Nakula menuju kolam itu. Ketika dia sampai di sana terdengarlah suara gaib “wahai putra madri, jawab dulu pertanyaanku baru kamu boleh minum”, namun nakula tidak menghiraukannya , dia langsung meminumnya, seketika itu pula dia jatuh tidak sadarkan diri.

Melihat saudaranya sudah lama mencari air, maka yudistira mengutus sadewa untuk mencari. Ketika sadewa sampai, suara itu terdengar lagi “sadewa, telaga ini milikku, jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh meminumnya”. Namun sadewa tetap tidak bergeming, dan seketika itu pula dia tidak sadarkan diri.

Kamudian diutuslah arjuna untuk menyusul mereka, namun ketika sampai suara itu terdengar lagi, “jawab dulu pertanyaanku, jika engkau tidak menurutiku maka kau akan menemui nasib yang sama dengan saudaramu”. Arjuna marah mendengarnya dan berkata “siapa dirimu, akan kubunuh kamu” sambil membidikkan panahnya kearah suara itu, namun tidak mengenai apa-apa. Arjuna kemudian minum, dan seketika itu pula dia tidak sadarkan diri.

Kemudian bima menyusul adik-adiknya, dan dia pula mengalami nasib yang sama. Melihat saudaranya tidak kembali, yudistira menyusul mereka, dan alangkah kagetnya ketika dia melihat saudaranya terbaring kaku dalam kematian. Lalu tiba-tiba terdengar suara gaib “saudaramu mati karena tidak mengindahkan kata-kataku, jawab dulu pertanyaanku baru kemudian engkau dapat meminum air di telaga ini”. Yudistira menyanggupi dan kemudian dia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan suara itu.

Jawaban yudistira memuaskan suara itu, kemudian dia berkata “dari saudara-saudaramu ini, siapa yang kau pilih untuk hidup kembali??” kemudian yudistira menjawab “nakula, karena aku adalah putra dewi kunti maka biarlah salah satu putra dewi madri hidup dan meneruskan keturunannya”. Mendengar jawaban Yudistira suara tersebut bergembira, jawaban yudistira mencerminkan keadilan dan juga mencerminkan Dharma karena keadilan pada prinsipnya adalah Dharma itu sendiri. Suara tersebut akhirnya menghidupkan kembali semua saudaranya.

Apa makna dari cerita ini:

Kejadian ini memberikan makna kepada kita bahwa manusia (yang disimbolkan dengan panca pandawa) harus berusaha mematikan sifat marah (bima), birahi (arjuna), loba (nakula), dan iri hati (sadewa) melalui cara-cara yang disimbolkan dengan kehidupan di hutan selama 12 tahun. Kemudian baru setelah itu diri sejati ini terlahirkan kembali (ditandai dengan hidupnya kembali panca pandawa).

Hari raya Nyepi merupakan salah satu upaya untuk mematikan badan jasad ini, Nyepi ibarat masa pembuangan Panca Pandawa di tengah hutan dengan segala macam cobaan dan pantangannya (baca: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan). Nyepi mengembalikan kita semua ke titik NOL, titik dimana kita akan mampu untuk melihat kebenaran sejati.

Yudistira adalah simbol manusia yang mampu menguasai dirinya sendiri, simbol dari NOL yang mampu mengalahkan musuh sejati yang berasal dari diri sendiri dan mencapai tingkat kesucian yang dimuliakan Tuhan. Hendaknya kita semua berusaha untuk menjadi seperti ini. Awighnam Astu..

Rahajeng Rahina Nyepi

I Wayan Agus Eka sekeluarga….

Posted in Daily Notes | Tagged: | 4 Comments »

John Roosa: Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement & Suharto’s Coup D’Etat in Indonesia

Posted by I Wayan Agus Eka on March 3, 2010

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar Gerakan 30 September 1965???Mungkin salah satu jawaban yang terlintas adalah PKI. Ya, PKI adalah organisasi yang paling sering disebut sebagai aktor intelektual peristiwa tersebut apalagi buku-buku sejarah pada masa rezim Suharto selalu menyudutkan PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab dan menamakan gerakan itu sebagai G 30S/PKI.

Namun, seiring dengan jatuhnya rezim Suharto maka bermuncullah berbagai macam versi dari peristiwa tersebut dan buku ini adalah salah satunya. Buku ini, sebagaimana buku-buku lainnya, mencoba untuk memberikan pandangan baru dari perspektif yang berbeda mengenai gerakan tersebut. Kini, untuk menyebut peristiwa tersebut, tidak lagi dengan G30S/PKI namun cukup dengan gerakan 30 September yang memberikan makna bahwa adanya upaya untuk pelurusan sejarah yang selama ini menuduh PKI sebagai aktor intelektual.

Penulis buku ini menjelaskan bahwa peristiwa ini bermula dari perebutan pengaruh dan upaya penggulingan kekuasaan antara Petinggi AD saat itu (A. Yani, Nasution dll) dan PKI dengan Sukarno berada di tengah-tengahnya. Dengan semakin besarnya pengaruh PKI maka Sukarno mulai masuk ke sayap kiri sehingga membuat gerah petinggi AD yang anti komunis.

Petinggi AD yang anti komunis, saat itu menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan rezim Sukarno, karena akan sangat sulit kalau mereka melakukan kudeta langsung ke Sukarno karena legitimasi Sukarno di depan rakyat saat itu sangat kuat. Kemudian terjadilah peristiwa G 30 S yang menjadi dalih bagi Suharto untuk menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya. Sampai ke akar-akarnya ini berarti bahwa seluruh anggota PKI harus ditumpas habis padahal yang merencanakan peristiwa G 30 S hanya segelintir orang PKI sementara anggotanya di daerah yang sebagian besar kaum buruh, petani sama sekali tidak paham mengenai peristiwa ini. Peritiwa pembunuhan massal inilah yang selama ini luput dari perhatian kita ketika rezim Suharto, padahal magnitudenya jauh lebih besar dibandingkan dengan gerakan 30 S itu sendiri. Dengan hancurnya PKI maka sedikit demi sedikit Sukarno akan kehilangan legitimasi dan akhirnya menyerahkan jabatannya.

Salah satu kunci keberhasilan penumpasan PKI (baca:pembunuhan massal) adalah digunakannya media massa sebagai alat doktrinasi. Bagaimana media massa memancing kemarahan rakyat dengan cerita-cerita fiktif bahwa PKI membunuh jenderal dengan menyilet-nyilet bagian vitalnya sambil menari-nari. Disebut cerita fiktif karena dokter yang melakukan otopsi, beberapa tahun kemudian memberikan testimoni bahwa dari hasil otopsi tidak ditemukan bukti tindakan silet-menyilet kepada korban.

Buku ini sebenarnya dilarang beredar, namun kita dapat mengunduhnya dengan mudah di internet dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Setidaknya buku ini memberikan gambaran baru bagi kita mengenai peristiwa yang dahulu hanya kita kenal melalui pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan bahwa juga sejarah menjadi alat bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya meskipun akhirnya kekuasaan itu runtuh pula di tangan rakyat.

Selamat membaca…

Posted in Book that i've read | 1 Comment »

Bali for Sale

Posted by I Wayan Agus Eka on March 1, 2010

Masuklah ke link ini, maka anda akan menemui sebuah iklan tanah dijual di Bali. Mungkin terdengar sudah umum dan biasa, namun bagi saya cukup luar biasa tatkala mengetahui bahwa tanah yang diiklankan tadi terletak di salah satu sudut desa tanah kelahiran saya. Ketika saya masih SD boleh dibilang seluruh tanah di kampung saya masih dimiliki penduduk pribumi, namun lambat laun satu persatu lahan di sana dibeli oleh orang asing dengan perantara orang lokal.

Tanah yang sangat laku adalah tanah di tepian timur sungai Petanu yang topografinya berupa tebing dengan keterjalan bervariasi. Pembeli sangat meminati karena menyajikan pemandangan yang cukup indah dengan aliran sungai di bawahnya dan hamparan ilalang di tebing seberang sungai. Penduduk desa yang memiliki tanah ini sangat tergiur dengan uang ratusan juta yang bisa didapatkannya dalam waktu singkat tanpa harus bekerja keras.

Cerita di kampung saya sangat mungkin terjadi (bahkan sudah terjadi) di belahan desa lainnya di Bali. Perkembangan dan pertumbuhan pariwisata membutuhkan lahan ekspansi yang semakin meningkat. Pertumbuhan pariwisata yang digadang-gadang menjadi obat kemakmuran masyarakat Bali harus mengorbankan lahan-lahan pertanian yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat Bali. Celakanya lagi, pembeli lahan tadi sebagian besar adalah masyarakat luar daerah bahkan turis asing dengan memanfaatkan calo-calo lokal.

Apakah kepemilikan “asing” ini salah??mungkin kalau menggunakan parameter di luar daerah selain Bali hal ini tidaklah salah, namun untuk di Bali kepemilikan “asing” ini menjadi salah satu penyebab pergeseran budaya Bali. Saya meyakini bahwa generasi kakek/nenek kita sebagian besar pasti mayoritas petani/penggarap lahan, namun lihatlah generasi orang tua kita dan generasi kita sendiri, berapa banyak dari mereka yang meneruskan profesi orang tuanya dan mungkin di dalamnya termasuk saya sendiri. Lahan yang dimiliki “asing” ini pada umumnya dijadikan sarana pariwisata, entah itu hotel, restoran, villa dll, yang tentunya akan membuka jenis lapangan pekerjaan baru yang lebih menarik dari sekadar berkubang dengan lumpur persawahan.

Pengalihan kepemilikan lahan ini juga menjadi salah satu sumber konflik horizontal di Bali. Saya menyaksikan sendiri bagaimana sebuah keluarga terpecah gara-gara pembagian hasil penjualan lahan yang tidak adil, bagaimana sebuah keluarga yang masih satu “natah” tidak pernah bertegur sapa bahkan ironis ketika ada yang menempuh jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.

Saya sangat percaya bahwa tanah adalah benteng terakhir sebuah kebudayaan, sebuah benteng yang lahan di dalamnya berfungsi sebagai ruang-ruang bagi kebudayaan  untuk sekedar bertahan apabila hanya tumbuh saja sangat susah. Tanah memungkinkan insan-insan di dalamnya untuk mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya tanpa harus memikirkan orang-orang di luar. Namun ketika tanah ini dimiliki pihak luar maka seketika itu juga robohlah benteng tersebut, ruang ekspresipun akan menjadi lebih terbatas dan lebih sempit. Dan ketika itu terjadi apakah kita masih akan membanggakan diri sebagai suku yang berbudaya.

Pertumbuhan pariwisata hendaknya tidak menjadi dalih untuk membenarkan aksi alih lahan ini, karena bagaimanapun juga Bali memiliki batas kemampuan untuk menampung pertumbuhan tersebut. Mungkin saatnya kita sejenak mengatakan “cukup” terhadap hegemoni pariwisata ini karena kata cukup akan memberikan waktu untuk menjernihkan pandangan kita mengenai kondisi Bali sekarang dan bagaimana kita mengelolanya di masa datang. Selayaknya manusia yang mempunyai batas kemampuan maka begitu pulalah pulau tercinta ini, sehingga pemaksaan yang bernama “pertumbuhan ekonomi/pertumbuhan pariwisata dll” hanya akan memeras keringat Bali saja sehingga suatu saat bukan lagi keringat yang akan keluar tapi darah. Semoga ini tidak terjadi, Awighnam Astu.

Posted in Daily Notes | Tagged: | 1 Comment »