DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Balinese Instant Generation

Posted by I Wayan Agus Eka on February 16, 2010

I Kocong sudah tamat SMA sekarang, namun bagi pemuda sekelas I Kocong sekolah hanyalah sambilan dari profesi utamanya sebagai brandes (brandalan desa), sebutan khas masyarakat bali untuk orang yang sering buat onar, mabuk-mabukan dll di lingkungan masyarakat. Jangankan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, untuk bangun pagi berdandan rapi menenteng map saja dia ogah. Sube keles asane bungut meme bapane ngorahin I Kocong (ungkapan yang kurang lebih berarti bahwa ortunya I Kocong sudah sampai bosan menasehatinya).

Setiap hari kerjaannya hanya nongkrong di warung pinggir jalan, menghisap rokok dan berharap temen2nya sesama brandes datang sambil membawa red label (kalo lagi ada duit) atau kalau lagi cekak arak bali pun gpp. Duduk melingkar di sisi jalan, ditengahnya ada botol besar dan gelas kecil kemudian digilir ke setiap anggota komunitasnya, begitulah sampai badannya terasa ringan dan semua masalah hidupnya seakan-akan hilang lalu pulang terhuyung-huyung kemudian menjatuhkan badan di kamarnya yang sumpek dan baru bangun jam 2 siang keesokan harinya. Begitulah hari-hari I Kocong, sang jagoan desa.

Suatu hari datanglah salah seorang temannya. Dandanannya ga jauh beda ama personil grup punk. Rambut kaku berdiri, semir merah, baju dan celana ketat compang camping, sepatu ga jelas sambil menenteng blackberry onyx di tangan. Gacoannya pun ga kalah, mobil honda jazz hitam full modifikasi plus ditambah seorang cewek cantik di dalamnya dengan dandanan serupa. Melihat temannya itu, I Kocong hanya bisa menelan air ludahnya sendiri, bibirnya mangap terus sembari kupingnya serius mendengar cerita-cerita seru temannya tentang kehidupan “modernnya” di kota seberang. Kupingnya tetap terpasang ketika sang teman menceritakan keberhasilannya menggaet cewek-cewek cantik dan mengajaknya kencan ke hotel, makin keluarlah air liur I Kocong.

Cerita sang teman masih terngiang-ngiang di telinga I Kocong sesampainya di rumah, kalau biasanya sehabis mabuk dia langsung tidur namun kali ini matanya masih terbelalak seperti burung hantu yang suaranya sering terdengar di belakang rumahnya. Pikirannya menerawang jauh ga tentu arah membayangkan seandainya dia bisa seperti itu, namun I Kocong selalu menghela nafas ketika dia menyadari bahwa dia hanya seorang pemuda desa pengangguran yang ortunya hanya petani yang menggarap tanah warisan leluhurnya.

Namun tiba-tiba matanya berubah semakin terang, raut mukanya menjadi lebih jelas, bibirnya terseyum-senyum simpul karena di pikirannya melintas “ide cemerlang” yang bisa mengatasi kegundahannya. Ya, dia yakin ide ini akan merubah I Kocong dari pemuda culun, kampungan, dekil menjadi pemuda modern, wangi, disenangi cewek-cewek, dll. Dia akan membujuk ayahnya untuk menjual tetandingan (sebutan untuk tanah warisan), ya, dia yakin akan menjual harta satu-satunya peninggalan leluhurnya itu.

Awalnya sang ayah menolak, namun namanya juga orang tua yang hanya memiliki satu anak laki-laki sang ayah tidak bisa berbuat banyak. Tanpa waktu yang lama, tanahnya dibuatkan sertifikat (karena pada umumnya tanah warisan di bali belum disertifikat) kemudian dengan bantuan seorang makelar yang juga penduduk desa seberang maka tanpa kesulitan dia menemukan calon pembeli dari luar negeri. Transaksi pun terjadi dan sekarang I Kocong sudah menjadi orang kaya baru di desanya.

Terkejut dengan jumlah uang yang begitu banyak, satu persatu barang mewah pun dibelinya. Mulai dari mobil keluaran terbaru, HP terkini, rumahpun diperbaiki seperti amah tetani (ungkapan yang berarti bahwa rumahnya dipenuhi ukiran-ukiran). Biar balance, tampang I Kocong pun dipermak abis, dia pun mulai mengenal yang namanya body lotion, deodoran, minyak wangi dll.

Kebiasaannya pun berubah, dari sekadar hanya nongkrong di pinggir jalan menunggu teman-temannya datang membawa arak sekarang tongkrongannya menjadi sekelas “Kamasutra” yang mungkin tiket masuknya cukup buat beli beras sebulan. Mentraktir temanpun menjadi menu keseharian I Kocong sekedar untuk berebut pengaruh dan pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Gonta ganti cewek menjadi hal yang biasa baginya. Tetanggapun sering membicarakannya namun baginya itu justru hal yang membuatnya menjadi semakin bangga dengan statusnya sekarang.

Cerita I Kocong mungkin hanya fiktif belaka, namun bukan hal yang mustahil hal ini terjadi pada kehidupan nyata khususnya di Bali yang generasi mudanya begitu terpengaruh dengan dunia luar hasil dari industri pariwisata dan kemudian mencoba mengadaptasinya di kehidupan sehari-hari tentunya dengan modal bernama tanah warisan dari leluhurnya. I Kocong merupakan cerminan pemuda bali masa kini yang menginginkan segala sesuatu yang serba cepat tanpa mengalami proses, bukan bermaksud untuk mengeneralisasi karena saya yakin masih banyak pemuda Bali yang berjuang keras dan memperoleh hasil sebagai kristalisasi keringat (meminjam istilah dari tukul). Hasil yang diperoleh I Kocong seperti buah pisang karbitan yang nampak bagus dari luar namun di dalamnya masih mentah.

Apakah Anda salah satu dari I Kocong?????

Advertisement

2 Responses to “Balinese Instant Generation”

  1. agoes_yudiz said

    haha, pasti ade ne contohne di laplapan ao senk?…ato maan ilham suud mulih uli bali, :p …nice story, kisah nyata anak2 muda di bali jaman skrg. Dengan semakin banyaknya pendatang yg menyerbu bali, justru seharusnya kita meningkatkan competitive advantage agar bisa survive dalam persaingan yg semakin keras dan menjadi tuan di tanah sendiri….bukan jatuh dalam jurang hedonisme seperti ini…

  2. agus said

    Nice story bli… 🙂

Leave a Reply to agoes_yudiz Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

 
%d bloggers like this: