Menuju Unqualified Opinion APBD Provinsi Bali
Posted by I Wayan Agus Eka on July 11, 2009
Melalui sidang pleno DPRD Bali, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan provinsi Bali. Hasil yang cukup mencengangkan karena terjadi penurunan opini yang diberikan BPK dari opini tahun lalu. Apabila tahun lalu BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) namun untuk tahun ini BPK menyatakan tidak memberikan pendapat alias disclaimer (Balipost, 29/6/2009).
Menyimak definisi disclaimer
Menurut Arens (2008), opini disclaimer akan dikeluarkan ketika auditor mengalami ketidakmampuan untuk menilai bahwa keseluruhan laporan keuangan disajikan secara wajar. Terdapat dua kondisi pokok yang mengakibatkan auditor mengeluarkan opini ini yaitu adanya keterbatasan yang kuat dalam ruang lingkup audit (severe limitation on the scope of the audit) dan hubungan yang tidak independen (a nonindependent relationship) antara auditor dengan klien. Terjadinya salah satu kondisi tersebut menimbulkan ketidakmampuan auditor untuk menyampaikan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan.
Hal yang perlu dipahami bahwa disclaimer berbeda dengan opini tidak wajar (adverse opinion). Disclaimer lebih terkait karena kurangnya pengetahuan/pemahaman (lack of knowledge) dari auditor sehingga tidak mampu memberikan pendapat, sementara ketika auditor memberikan opini tidak wajar maka auditor harus memiliki pengetahuan/pemahaman untuk menyatakan bahwa laporan keuangan yang disajikan bersifat tidak wajar.
Menuju Unqualified Opinion
Indonesia memasuki era baru pengelolaan keuangan negara baru sekitar 6 tahun lalu dengan disahkannya paket UU Pengelolaan Keuangan Negara yang meliputi UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara. Paket UU ini menggantikan peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku semenjak jaman penjajahan dan sekaligus menandai dimulainya reformasi keuangan negara menuju transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, sebagai bagian dari siklus penganggaran, maka Pemerintah Daerah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagaimana diamanatkan pasal 31 UU No 17/2003. LKPD terdiri dari laporan realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas serta Catatan atas Laporan Keuangan yang disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 24 tahun 2005. LKPD inilah yang menjadi objek pemeriksaan BPK sebelum Gubernur mengajukan rancangan peraturan daerah kepada DPRD.
Kelemahan-kelemahan dalam LKPD Provinsi Bali sebenarnya dapat disarikan menjadi beberapa bagian besar. Yang pertama adalah kelemahan dalam pengelolaan pendapatan daerah. Kelemahan ini terindikasi dari temuan BPK berupa dugaan penggelapan pajak senilai 941 juta, kekurangan perhitungan atas pendapatan jasa giro sebesar 489,73 juta dan keterlambatan pengenaan denda pascabencana sebesar 115,5 juta. Yang kedua adalah kelemahan pengelolaan aset daerah yang tergambarkan dari temuan BPK berupa kelemahan sistem pengelolaan aset tetap sebesar 1,94 triliyun pada Biro Aset Setda Provinsi Bali serta temuan BPK berupa tidak tertibnya penatausahaan obat di Dinas Kesehatan dan RS Indra. Yang ketiga adalah kelemahan pengelolaan investasi daerah yang dapat dilihat dari temuan BPK pada investasi Pemprov Bali pada Rumah Potong Hewan Gianyar sebesar 4,8 Milyar. Kelemahan terakhir adalah kelemahan dalam sistem pengendalian internal dengan adanya temuan pelaksanaan program community based develpoment yang tidak menggunakan mekanisme anggaran sehingga melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (6) UU No 1/2004 yang menyebutkan bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
Dengan mendasari pada kelemahan-kelemahan tersebut maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Pertama adalah penetapan Peraturan Kepala Daerah tentang Kebijakan Akuntansi yang mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 97 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. SAP pada hakikatnya hanya memberikan gambaran secara umum prinsip-prinsip akuntansi sektor publik (pemerintahan) yang berlaku baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Prinsip-prinsip ini harus dijabarkan dalam bahasa yang lebih teknis oleh masing-masing entitas untuk menjadi pedoman dalam penyusunan laporan keuangan. Karena sifatnya adalah penjabaran maka kebijakan akuntansi pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan SAP sehingga dalam proses penyusunannya diperlukan kecermatan, ketelitian, dan keterlibatan pihak-pihak yang ahli dalam bidangnya. Kebijakan akuntansi ini menjadi penting karena menjadi dasar bagi pengelola keuangan daerah untuk menyusun LKPD sehingga harus bersifat komprehensif yang meliputi kebijakan untuk pengeluaran/penerimaan kas, akuntansi aset tetap, investasi, hutang dll.
Berkaitan dengan kebijakan akuntansi, BPK juga memiliki kepentingan untuk menentukan kesesuaian penyajian laporan keuangan dengan standar yang telah ditetapkan. BPK juga akan melakukan penilaian apakah kebijakan akuntansi pemerintah sudah sejalan dengan SAP. Mengingat penetapan kebijakan ini berhubungan erat dengan berbagai stakeholder maka political will dari eksekutif daerah sangat diperlukan untuk pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik.
Langkah selanjutnya adalah pembenahan sistem pengelolaan aset tetap pemda. Pengelolaan aset tetap menjadi salah satu bagian paling rumit dalam mewujudkan tata kelola yang baik (good governance), tidak hanya pada lingkup pemerintah daerah namun juga berlangsung pada pemerintah pusat. Reformasi pengelolaan keuangan semenjak tahun 2003 mensyaratkan semua aset pemerintah (baik pusat dan daerah) harus dapat diidentifikasi dan dinilai secara wajar. Namun dalam pelaksanaanya terjadi berbagai macam kendala yang mengakibatkan banyaknya aset pemerintah yang tidak jelas status kepemilikannya dan meskipun sudah teridentifikasi masih banyak aset tetap yang dinilai hanya sebesar Rp 1 yang mengakibatkan neraca tidak mampu mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Mengingat proporsi jumlah aset tetap yang sangat signifikan dalam neraca maka sistem pengelolaan aset tetap yang lemah akan menyesatkan pembaca laporan keuangan yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekeliruan dalam pengambilan keputusan.
Sistem pengelolaan aset tetap yang baik dimulai dari penyusunan seperangkat peraturan yang berisi prosedur-prosedur pengelolaan aset tetap yang meliputi prosedur bagaimana aset tersebut diakui oleh pemda dalam sistem akntansinya, siapakah yang bertanggung jawab atas penggunaan, pengelolaan dan pemeliharaannya, kemudian mencakup juga prosedur perlindungan aset sampai kepada bagaimanakah aset tersebut akan didisposal dari neraca. Untuk tahap awal, perbaikan pengelolaan aset tetap dapat dimulai dengan melakukan identifikasi aset-aset yang menjadi milik pemda. Setelah aset tersebut teridentifikasi maka baru dilakukan penilaian secara wajar. Proses ini tentunya akan memakan waktu dan biaya, sehingga harus disusun semacam rencana strategis yang berisi skedul penyelesaian secara bertahap lengkap dengan batas waktunya masing-masing. Rencana strategis ini menjadi penting supaya langkah-langkah pembenahan pengelolaan aset menjadi lebih terstruktur dan sistematis disamping karena keterbatasan sumber daya sehingga pelaksanaanya harus dilakukan secara bertahap.
Langkah ketiga adalah perbaikan sistem pengendalian internal. Seringkali pengelola keuangan daerah mengabaikan penyusunan sistem pengendalian internal dengan alasan tidak menyentuh langsung pada perbaikan pelaporan keuangan. Adalah sebuah kenyataan bahwa sistem pengendalian internal tidak memiliki keterkaitan langsung dengan laporan keuangan namun perannya menjadi sangat penting sebagai pencegah terjadinya kesalahan penyajian pelaporan keuangan bahkan mampu mencegah kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran hukum. Penyusunan sistem pengendalian internal dimulai dari lingkungan pengendalian yang terdiri dari tindakan, SOP, kebijakan yang mencerminkan sikap keseluruhan dari eksekutif puncak tentang pengendalian internal. Kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian resiko-resiko yang mungkin timbul dari setiap kegiatan pemerintah daerah. Resiko-resiko tersebut kemudian digolongkan menurut kemungkinan terjadinya dan dampaknya. Ketika resiko tersebut sudah teridentifikasi maka barulah ditetapkan prosedur, kebijakan, SOP, aturan yang mampu untuk mencegah terjadinya resiko tersebut. Mengingat luasnya cakupan dari sistem pengendalian internal ini maka proses penyusunannya harus melibatkan seluruh satuan kerja di pemda. Di setiap satuan kerja dibentuk tim yang bertugas untuk mengidentifikasi resiko dan alternatif pencegahannya, hasilnya kemudian dikonsolidasikan dengan satuan-satuan kerja yang lain sehingga mampu menghasilkan sistem pengendalian internal yang komprehensif.
Hal yang juga penting dalam sistem pengendalian internal adalah adanya sistem pengawasan yang efektif yang dalam hal ini dilakukan oleh Bawasda. Bawasda harus mampu untuk mendeteksi terjadinya pelanggaran-pelanggaran prosedur pengelolaan keuangan dan melakukan tindak korektif untuk mengatasinya. Namun yang lebih penting, Bawasda harus mampu mengidentifikasi sistem pengendalian yang tidak berjalan karena memang tidak sesuai atau sudah usang, untuk kemudian mengusulkan perbaikan atau penggantian. Dengan kata lain Bawasda harus melakukan pengujian sistem pengendalian internal ini secara berkelanjutan untuk menentukan apakah masih berjalan dengan efektif atau membutuhkan tindakan korektif.
Langkah selanjutnya adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah membutuhkan terintegrasinya berbagai sistem pendukungnya antara lain sistem akuntansi, sistem pengelolaan aset, sistem penganggaran, sistem procurement dan lain sebagainya. Dengan kemajuan teknologi maka sistem-sistem ini dapat dibuat dengan berbasis komputer dan saling terhubung satu sama lainnya dengan basis jaringan. Hal penting yang dapat dipetik dari penggunaan teknologi informasi antara lain penyederhanaan proses, minimalisasi kemungkinan kecurangan, penghematan biaya dalam jangka waktu panjang serta ketepatan informasi yang dihasilkan. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah investasi awal untuk melaksanakannya membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit sehingga harus dibuat perencanaan yang baik dalam skala prioritas untuk membangunnya secara bertahap.
Langkah terakhir yang juga tidak kalah pentingnya adalah perbaikan kualitas sumber daya manusia. Terwujudnya tata kelola keuangan daerah yang baik sangat ditentukan oleh kualitas SDM yang menyusun dan melaksanakan pengelolaan keuangan negara. Ketua BPK sendiri pernah menyatakan bahwa salah satu penyebab opini disclaimer adalah kualitas SDM yang tidak mendukung. Diperlukan perbaikan penanganan SDM khususnya di bidang keuangan/akuntansi yang antara lain berupa penyusunan standar kompetensi minimal yang harus dipenuhi serta pelaksanaan program pendidikan/pelatihan keuangan yang berkelanjutan.
Unqualified opinion bukan lagi sesuatu di awang-awang lagi, karena beberapa daerah sudah berhasil mencapainya. Setelah semua hal tersebut dicapai dan diperbaiki maka konsistensi adalah langkah selanjutnya karena dengan konsistensi itulah LKPD tidak hanya sekadar menjadi alat pertanggungjawaban namun lebih dari itu mampu memberikan manfaat berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan.
(dimuat dalam versi edited di harian balipost 18/07/2009)
I Wayan Agus Eka
Leave a Reply