DAUN LONTAR

Karena Yadnya Yang Paling Utama adalah Pengetahuan (Jnana)

Isu Pendidikan yang Termarginalisasi

Posted by I Wayan Agus Eka on July 2, 2009

Babak baru pesta demokrasi di Indonesia telah dimulai, sesaat lagi kita akan menempuh episode akhir dari rangkaian gelaran hajatan rakyat lima tahunan melalui pemilihan presiden tanggal 8 Juli nanti. Genderang kampanye pemilu telah ditabuh jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan untuk pemilihan anggota legislatif sudah dilaksanakan dari tahun 2008 sementara kampanye presiden baru dimulai awal bulan Juni ini dan secara resmi dimulai tanggal 10 Juni melalui deklarasi damai kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden.

Berbagai janji terucap dari seluruh parpol menjelang pemilihan umum legislatif dan berlanjut dari ketiga pasang capres/cawapres menjelang pemilihan presiden. Namun ada satu isu yang cukup menjadi perhatian hampir sepanjang penyelenggaraan pemilu kali ini yaitu masalah ekonomi. Satu kubu menuduh kubu lainnya sebagai penganut paham ekonomi neoliberalisme sembari mendeklarasikan dirinya sebagai penganut ekonomi kerakyatan meskipun kedua paham ekonomi ini belum dapat didefinisikan secara jelas. Bantahan pun tidak dapat dielakkan, karena mereka menyadari bahwa mereka tidak menganut paham ekonomi tersebut dan menyatakan bahwa hal ini adalah upaya pembentukan stigma di masyarakat pemilih untuk menjatuhkan mereka.

Entah kenapa isu ekonomi kerakyatan vs ekonomi neoliberalisme menjadi sangat “seksi” pada pemilu kali ini mengalahkan isu-isu lainnya. Mungkin karena kaum elit berpandangan bahwa masalah ekonomi adalah masalah yang sangat krusial bagi rakyat, terutama rakyat kecil yang langsung bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan “perut” mereka. Tinta sejarah juga mencatat bahwa kemenangan Obama dalam pemilihan presiden AS juga didukung oleh kampanyenya di bidang ekonomi yang mengupayakan pemotongan pajak bagi kaum “jet set” dan pemberian “bailout”.

Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pelupa, dan penyakit pelupa ini juga mungkin sudah menjangkiti tim sukses ketiga pasang capres/cawapres. Mereka lupa bahwa ada satu isu “maha penting” yang idealnya lebih “hot” daripada isu ekonomi yang seharusnya mereka bahas yaitu isu pendidikan. Ketika perang dunia ke II berakhir dengan kekalahan Jepang dari Sekutu, Kaisar Jepang menanyakan kepada Perdana Menterinya, tapi pertanyaan sang Kaisar bukan berapa prajurit yang tersisa, bukan pula berapa banyak pabrik yang masih bisa beroperasi namun justru Kaisar menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya seorang guru (baca: pendidikan) bagi kemajuan suatu bangsa. Dari “kapur tulis” seorang guru inilah akan terdiseminasikan pengetahuan kepada seluruh bangsa ini untuk melaksanakan pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan di bidang ekonomi yang menjadi isu utama kampanye para calon.

Isu pendidikan yang didengungkan selama ini baru hanya sebatas permukaan saja, belum masuk ke substansi permasalahannya. Para elit baru mendudukkan isu ini sebatas pada alokasi anggaran sebesar 20% sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Padahal isu pendidikan jauh dari hanya sebatas alokasi anggaran saja. Masih banyak hal lain yang perlu menjadi bahan perhatian utama. Mungkin para capres/cawapres merasa bahwa dengan alokasi anggaran yang cukup besar masalah pendidikan menjadi selesai sehingga tidak perlu lagi menjadi “headline” dalam kampanye mereka. Perlu diketahui bahwa anggaran hanya salah satu alat dalam eksekusi kebijakan pemerintah, dan permasalahan tidak hanya berhenti ketika alokasi sudah diketok. Masih ada tahapan perincian alokasi tersebut, masih ada tahapan distribusi anggaran, pengawasan, dan pengevaluasian.

Salah satu tujuan bernegara yang tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini tidak akan tercapai ketika kebijakan pemerintah baru hanya sebatas pengalokasian anggaran 20%. Diperlukan kebijakan-kebijakan pendukung yang seharusnya menjadi isu penting dalam kampanye sekarang. Isu sertifikasi guru misalnya, para capres/cawapres harus memiliki konsepsi yang jelas dalam hal bagaimana menciptakan standar kompetensi bagi guru-guru yang ada. Bagaimana kemudian langkah-langkah yang akan diambil kepada para guru yang belum mencapai standar yang ada karena bagaimanapun mereka pada umumnya sudah berbakti di dunia pendidikan pada rentang waktu yang cukup lama. Kemudian permasalahan selanjutnya adalah sistem remunerasi seperti apakah yang menjadi konsep para capres/cawapres apakah nantinya akan menerapkan sistem reward/punishment, sistem PGPS (pinter goblog pendapatan sama) atau sistem lainnya.

Isu evaluasi pendidikan juga harus mendapatkan proporsi yang sama. Ujian nasional yang ditetapkan oleh pemerintah mendapatkan reaksi yang keras dari berbagai pihak. Tidak jarang para pemerhati pendidikan menyatakan bahwa sistem evaluasi yang diterapkan hanya mementingkan keluaran (output) saja dengan mengabaikan aspek proses yang menjadi porsi terbesar dalam pendidikan. Apabila para capres/cawapres memang peduli dengan isu ini maka seharusnya mereka bisa memperdebatkan sistem evaluasi yang ada selama ini sambil kemudian mengajukan proposal sistem yang menurut mereka mampu untuk mengukur kemajuan para peserta didik.

Permasalahan Badan Hukum Pendidikan semenjak diberlakukannya UU No 9 Tahun 2009 menjadi polemik tersendiri di dunia pendidikan dewasa ini. Memang isu ini telah menjadi perhatian salah satu pasangan capres/cawapres yang berani menandatangani kontrak politik untuk mencabut UU tersebut. Namun sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa penanganan isu pendidikan baru hanya sebatas seremoni dan wacana saja, belum menyentuh substansi permasalahan dengan memberikan konsep solusi terhadap permasalahan yang ada. Memang kontrak politik tersebut merupakan sebuah janji politik, namun janji itu akan menjadi dangkal ketika tidak disertai dengan konsep perbaikan dari para pasangan capres/cawapres. Keluarnya UU BHP (terlepas dari segala kontroversinya) awalnya diharapkan mampu memberikan fleksibiltas kepada penyelenggara pendidikan terutama dari segi pembiayaan yang selama ini kaku dalam konsep penganggaran APBN. Ketika memang ada capres/cawapres yang berjanji mencabut UU BHP ini maka selayaknya mereka memberikan solusi dalam suatu konsep yang jelas yang dapat mengatasi masalah fleksibilitas anggaran ini bukan hanya sebatas janji untuk mencabut UU BHP demi popularitas parsial untuk memenangkan pemilu saja.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebagai sebuah organisasi internasional yang berkomitmen dalam demokrasi dan ekonomi menempatkan tiga isu penting dalam kebijakan di sektor pendidikan yaitu kualitas (quality), keadilan (equity) dan efisiensi (efficiency). Kualitas terkait bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang mencapai kualitas yang memang disyaratkan. Memang pada beberapa tahun belakangan ini beberapa putra-putri terbaik bangsa mampu mengukir prestasi dalam lomba/olimpiade tingkat internasional, namun hal itu belum tentu menjadi ukuran kualitas pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data depdiknas, pada bulan agustus 2008 jumlah pengangguran terdidik mencapai 961.001 orang, dan 598.000 diantaranya berstatus sebagai sarjana sementara sisanya adalah lulusan diploma. Data ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan.

Isu keadilan terkait dengan bagaimana pemerintah memberikan jaminan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan untuk dapat mengeyam pendidikan. Isu ini menjadi sangat penting disaat tidak semua anak usia didik mendapatkan haknya untuk bersekolah. Para capres/cawapres seharusnya menjadikan isu ini sebagai “dagangan utamanya” dengan menawarkan konsep berisikan cara untuk menyelenggarakan pendidikan yang murah bahkan bila perlu gratis kepada seluruh peserta didik. Sementara isu efisiensi berkaitan dengan bagaimana pendidikan dapat terselenggara dengan input biaya yang efisien namun tetap mampu menghasilkan quality dan equity yang optimal. Isu efisiensi ini tidak lepas dari bagaimana para capres/cawapres untuk memastikan bahwa anggaran pendidikan 20% mampu terserap secara optimal tanpa adanya kebocoran oleh tindakan korup aparatnya. Para capres/cawapres harus dapat mengajukan konsep pengawasan terhadap penggunaan anggaran ini sehingga efisiensi anggaran dapat tercapai.

Pendidikan adalah pondasi bagi kemajuan suatu bangsa. Bangsa peraih nobel terbanyak, Amerika, menjadi bangsa yang besar karena komitmen yang tinggi pada pendidikan. Sudah saatnya isu pendidikan beralih menjadi isu pokok dalam kampanye pilpres dan pelaku pendidikan di Indonesia harus mulai menyerukan kepada calon pemimpin mereka sebagaimana diteriakkan oleh Bill Gates dalam kampanye Presiden USA tahun 2008 “We all must demand that candidates and our leaders share their opinions and policies on how our country will offer all young people Strong American Schools”.

I Wayan Agus Eka

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

 
%d bloggers like this: